“Gue gak betah di kantor yang sekarang, nih! Toxic banget!”
Mungkin kamu sudah sering mendengar teman kamu curhat soal kantornya yang dilabeli “toxic” atau mungkin kamu sendiri yang sedang merasakan “ke-toxic-an” dari perusahaan tempat kamu bekerja?
Eits! Jangan buru-buru resign atau nurunin performa kerja kamu untuk “balas dendam”, ya. Nyari kerja di jaman pandemi ini susah, loh!
Istilah lingkungan kerja toxic makin marak diperbincangkan di berbagai media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, terutama oleh generasi Milenial dan Gen-Z yang memang memiliki “style” bekerja sangat berbeda dengan generasi pendahulunya.
Tak jarang ditemukan pengguna media sosial yang curhat soal kantornya yang toxic baik dari sisi atasan, rekan sesama karyawan, atau bahkan budaya kerja di kantor tempat mereka bekerja.
Lantas, apakah fenomena kantor toxic ini baru ada ketika Milenial dan Gen-Z memasuki dunia kerja?
Atau sudah ada sejak jaman baheula akan tetapi baru mencuat ke permukaan di zaman ini dengan istilah tersebut?
Mari kita ambil beberapa contoh kasus ke-toxic-an yang sering terjadi di kantor:
1. Atasan tidak mengapresiasi pekerjaan kamu dengan layak dan cenderung memberikan beban pekerjaan yang berlebihan.
2. Rekan kantor yang sering menjatuhkan kamu di depan atasan untuk membuat dirinya terlihat lebih baik dan “kerjanya lebih bener”.
3. Lingkungan kerja tidak suportif, selalu melihat kesalahan ketimbang sumbangsih yang telah kamu berikan ke perusahaan.
4. Senior bukannya memberikan masukan membangun ketika kamu melakukan kesalahan, malah menjadikanmu bahan ghibah.
5. Slogan “kita adalah keluarga”, artinya kamu siap diteror soal pekerjaan, meski sudah di luar jam kerja atau kamu lagi menikmati jatah weekend.
6. Niatnya ambil cuti buat healing ke Bali. Eh, slogan di poin lima masih berlaku, loh.
7. Dll.