Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Angka Kanker Paru Masih Tinggi, Apa yang Perlu Dilakukan?

Kompas.com - 09/02/2022, 12:59 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kanker paru masih menjadi jenis kanker penyebab kematian nomor 1 di dunia, termasuk di Indonesia.

Data WHO melalui Global Cancer Observation mencatat 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia dengan jumlah kematian mencapai 30.843 selama tahun 2020.

Bahkan jumlah kasus kanker paru di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya.

Fakta itu diungkap oleh dr. Evlina Suzanna, Sp. PA, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia.

Dalam media brief "Kesintasan Pasien Kanker Paru melalui Deteksi Dini, Diagnosis, dan Tata Laksana yang Berkualitas" secara virtual, Selasa (8/2/2022), dia menyebut kanker paru juga dialami generasi muda.

"Pasien kanker paru perlu mendapatkan pelayanan yang komprehensif," katanya.

Pelayanan bisa dimulai dari penyuluhan soal bahaya kanker paru, deteksi dini, diagnosis, dan pengobatan dini yang tepat.

Hal itu ditujukan untuk meningkatkan peluang bertahan hidup dan mengurangi beban biaya kesehatan penyintas kanker paru.

Adapun, tingginya angka penderita kanker paru di Tanah Air paling banyak disumbang oleh kaum laki-laki.

Laki-laki berkontribusi sebanyak 25.943 kasus atau sekitar 14,1 persen kasus kanker paru di Indonesia.

Kendati jumlah kasusnya masih tinggi, sayangnya angka harapan hidup penderita kanker terbilang rendah.

Data dari jurnal The Lancet Oncology, sebuah jurnal penelitian dari Eropa tahun 2014 memperlihatkan sekitar 13,7 persen pasien kanker paru masih bertahan dalam 5 tahun setelah diagnosis.

Sementara rata-rata usia harapan hidup pasien kanker paru setelah diagnosis adalah selama 8 bulan.

Baca juga: Kanker Paru Masih Jadi Kanker Paling Mematikan

Pelayanan bagi penderita kanker paru

Berdasarkan penelitian Japanese Journal of Clinical Oncology tahun 2014, pasien dengan kanker paru memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien kanker lainnya.

Hal ini disebabkan tekanan mental yang dirasakan pasien, ditambah biaya pengobatannya yang besar dan juga berpotensi memengaruhi produktivitas keluarga.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com