Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Nusantara dalam Sebelanga Minyak Kelapa

Kompas.com - 14/02/2022, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Kabar baiknya, di beberapa bagian dunia ini masih ada ilmuwan dan pakar yang masih setia pada studi berbasis bukti tanpa intervensi ekonomi.

Kita masih memiliki data sahih risiko produk gorengan dan hasil proses menggoreng itu sendiri yang cukup menyeramkan di hari depan. Tak bisa dipungkiri.

Bahkan, sudah cukup ramai dibahas cara masak ikan laut yang digoreng justru menyebabkan risiko penyakit pembuluh darah ketimbang ikan diolah dengan bumbu dan cara-cara tradisional.

Belajar membuat minyak kelapa, membuat saya tercenung dan menarik napas panjang. Sepanjang prosesnya.

Baca juga: Minyak Kelapa Bisa Bantu Turunkan Berat Badan, Benarkah?

Yang apabila dilakoni generasi masa kini, mereka bisa jadi gerah dan memilih kabur ke mini market membeli sebotol minyak goreng rafinasi yang lebih jernih, tahan lama, dipuji sana sini menjamin gorengan kriuk ala kerupuk.

Tapi tunggu dulu, awam tahunya rafinasi itu minyak jernih yang melalui proses ‘teruji’ dan diakui aman walaupun menggunakan zat peluntur warna dan deodorisasi canggih yang memisahkan komponen bau dan rasa.

Sementara, pembuatan minyak tradisional bukan hanya tujuan akhir minyaknya berhasil ditampung, melainkan ampas minyak (bukan ampas parutan kelapa!) berupa krim kental masih berharga, bisa digunakan sebagai bahan pangan yang bernutrisi.

Mengunggah proses tersebut di media sosial, memberi rasa haru membuncah tak terkatakan. Karena rupanya ampas minyak yang sederhana itu dikenal di seluruh penjuru nusantara.

Orang Tapanuli selatan menyebutnya timborang, tiak minyak kata orang Bengkulu, gelundu menurut orang Palembang, orang Banjar di Kalimantan menyebutnya tahi lala, mirip sebutan tai lale orang Lombok.

Sedangkan di Pulau Jawa dikenal sebagai galendo atau blondo, sementara di Bali sendiri disebut tain tlengis, tai boka menurut orang Bugi, dan semuanya mengenali makanan kesayangan dan kerinduan masa lalu. Yang dibuat oleh para orang tua mereka.

Blondo selain wangi, juga kaya nutrisi dan bisa diolah sebagai aneka pepes dan makanan lunak untuk bayi.

Tapi alih-alih dipelihara sebagai arifan lokal, ampas minyak kelapa ini lebih sering dijadikan pangan ternak.

Lebih mengenaskan lagi, melihat sekilas bentuknya, ada generasi masa kini yang mengira blondo adalah adukan semen.

Baca juga: 3 Cara Membuat Minyak Kelapa Murni, Ternyata Tidak Sulit

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com