Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

The Tinder Swindler, Sekadar Hiburan atau Bisa Jadi Peringatan?

Kompas.com - 15/02/2022, 12:03 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

KOMPAS.com - Tayangan dokumenter Netflix, The Tinder Swindler, sukses besar ketika dirilis awal Februari lalu.

Kisah penipuan yang dilakukan Simon Leviev ini menyedot perhatian banyak orang, khususnya yang terbiasa menggunakan aplikasi kencan untuk mencari pasangan.

The Tinder Swindler menyajikan topik yang pasti menarik perhatian publik, pertunjukan "realitas" yang menggabungkan kencan, kemewahan dan kekayaan, kontra, patah hati, dan keinginan untuk balas dendam.

Namun, sebenarnya tidak banyak hal positif yang terjadi sepanjang rekaman dokumenter ini.

Pasalnya, si pelaku, Simon Leviev, hanya menjalani lima bulan penjara setelah mendapatkan 10 juta dollar AS dari para korbannya.

Baca juga: Mengenal Sosok Simon Leviev, Penipu Cinta di The Tinder Swindler

Ia bahkan kembali aktif di media sosial dan Tinder, mungkin berupaya mengincar wanita lainnya.

Sementara itu, para korban yang cukup berani menceritakan kisahnya tetap terlilit utang dan harga dirinya berantakan.

Mengapa The Tinder Swindler menarik untuk ditonton?

Sebagai makhluk sosial, kita selalu tertarik soal apa yang terjadi pada orang lain dan secara otomatis berempati.

Ketika melihat kisah penipuan di TheTinder Swindler, kita secara naluriah ingin tahu apa yang terjadi agar dapat menentukan risiko kejadian serupa.

Baca juga: 5 Pelajaran dari The Tinder Swindler agar Tak Terjebak Penipu Cinta

Hal yang lebih penting lagi, belajar bagaimana mencegah diri kita sendiri menjadi korban penipuan.

Sembari menyadari bahwa orang lain rentan terhadap bujukan, kita semua menderita bias mementingkan diri sendiri dan optimis. 

Akibatnya, kita menganggap diri kita kurang rentan dibandingkan orang lain.

Faktanya, internet membuat kita semua lebih rentan terhadap penipuan termasuk kala menggunakan aplikasi kencan online.

Namun, beberapa hal yang bisa kita pelajari dari penipuan Simon Leviev di The Tinder Swindler adalah kelihaiannya menggunakan pengaruh sosial.

Berikut adalah sejumlah pelajaran yang bisa kita ambil dari tayangan ini.

Bias konfirmasi

Bias konfirmasi menggambarkan kecenderungan kita untuk melihat sesuatu seperti yang kita inginkan.

Penipu seperti Leviev mengatakan pada korbannya hal yang ingin mereka dengar.

Dia menciptakan persona yang akan lebih dari memuaskan hasrat asmara targetnya.

Baca juga: Simon Leviev di The Tinder Swindler Tolak Tudingan sebagai Penipu

Bukti sosial

Simon Leviev dikenal sebagai Tinder Swindler atau penipu Tinder setelah dilaporkan berhasil menipu banyak perempuan di aplikasi Tinder. Simon Leviev diungkap telah menipu sekitar 10 juta dolar atau setara dengan Rp143,7 miliar.The Sun Simon Leviev dikenal sebagai Tinder Swindler atau penipu Tinder setelah dilaporkan berhasil menipu banyak perempuan di aplikasi Tinder. Simon Leviev diungkap telah menipu sekitar 10 juta dolar atau setara dengan Rp143,7 miliar.
Bukti sosial adalah kecenderungan kita untuk dipengaruhi tindakan dan validasi sosial orang lain.

Kesuksesan dan kekayaan sering diartikan sebagai proxy untuk validasi sosial dan otoritas sosial.

The Tinder Swindler membuktikan, Leviev menggunakan tampilan kekayaan untuk memvalidasi status dan keinginannya.

Kesamaan

Tayangan dokumenter ini memperlihatkan sejumlah korban Leviev yang merasakan ikatan kuat bersama.

Kesamaan ini merupakan reaksi naluriah yang membuat kita lebih percaya pada seseorang yang dianggap sama dan yang berbagi nilai serta keinginan serupa.

Para wanita yang ditipu ini merasakan "ikatan yang kuat" karena dia mencerminkan kembali tujuan, keinginan, dan nilai mereka sebagai miliknya.

Timbal balik

The Tinder Swindler (2022) The Tinder Swindler (2022)

Hal lain yang bisa dipelajari dari The Tinder Swindler adalah unsur timbal balik yang dieksploitasi.

Simon Leviev menghujani targetnya dengan hadiah mewah dan kencan mengesankan.

Selain membangun kredibilitas, tindakan ini juga menciptakan situasi di mana para korbannya akan "berutang" padanya nanti.

Rasa kewajiban psikologis dan norma sosial manusia membuat kita lebih rentan ketika menjadi penerima tindakan positif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com