Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Love Bombing, Taktik Melenakan Pasangan Seperti di The Tinder Swindler

Kompas.com - 15/02/2022, 18:00 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

KOMPAS.com - The Tinder Swindler menyajikan praktik manipulatif, love bombing yang memakan korban sejumlah wanita.

Pelakunya, Simon Leviev menerapkan taktik ini agar korbannya terlena sehingga akhirnya mudah ditipu.

Baca juga: Mengenal Sosok Simon Leviev, Penipu Cinta di The Tinder Swindler

Love bombing merupakan termasuk hal paling menakutkan yang bisa terjadi saat berkencan atau dilakukan pasangan kita.

Pelakunya biasanya merupakan narsisis, pelaku kekerasan, penipu atau pribadi bermasalah lainnya.

Sayangnya, praktik love bombing sangat sulit dideteksi dan dicegah ketika terjadi pada kita.

Apa itu love bombing?

Love bombing terjadi ketika pasangan menghujani kita dengan perhatian di awal hubungan sehingga akhirnya terlena dan bisa dikuasai dan dimanipulasi.

"Love bombing ditandai dengan perhatian, kekaguman, dan kasih sayang yang berlebihan dengan tujuan membuat penerima merasa tergantung dan berkewajiban kepada orang itu," kata terapis berlisensi di AS, Sasha Jackson.

Love bombing awalnya membuat korbannya begitu bahagia karena pengaruh dopamin dan endorfin akibat tindakan tersebut.

"Anda merasa istimewa, dibutuhkan, dicintai, berharga, dan layak, yang merupakan semua komponen yang berkontribusi dan meningkatkan harga diri seseorang," tambah Jackson, dikutip dari Cosmopolitan.

Kira merasa menemukan pasangan hubungan yang sempurna, bukan hanya mencintai namun juga meghujani perhatian, cinta dan hadiah.

Modus ini persis seperti yang dilakukan Simon Leviev di The Tinder Swindler kepada para korbannya.

Baca juga: The Tinder Swindler, Sekadar Hiburan atau Bisa Jadi Peringatan?

Sayangnya, pengalaman positif ini hanya akan berlaku sementara sampai pelaku love bombing mendapatkan keinginannya.

Kyle Zrenchik, PhD, terapis keluarga dan pernikahan berlisensi di AS mengatakan ketika seseorang sudah terlena akibat love bombing tersebut maka hubungan biasanya akan memburuk.

"Hubungan itu mungkin menjadi kasar, mengendalikan, manipulatif, atau kodependen. Ini mungkin tidak terlihat seperti kekerasan fisik, tetapi bisa diisi dengan banyak rasa bersalah, perhatian, dan pengorbanan," katanya.

Pelaku love bombing juga cenderung mempersulit pasangannya untuk meninggalkan toxic relationship tersebut.

Baca juga: Dialami Zayn Malik dan Gigi Hadid, Kenali 10 Tanda Toxic Relationship

Mereka akan membujuk kita untuk kembali dengan permintaan maaf berlebihan atau simbol cinta mendalam guna merasa bersalah sehingga kembali dengannya.

Pelaku love bombing cenderung memiliki kepribadian bermasalah

Toxic relationshipUnsplash/ Kelly Sikkema Toxic relationship
Pelaku love bombing cenderung memiliki kepribadian dan masa lalu yang bermasalah.

Misalnya pernah menjalani hubungan yang tidak stabil, kasar atau sangat konfliktual.

Pasangan dengan perilaku ini juga memiliki kecenderungan gangguan kepribadian narsistik dan kecemasan terkait keterikatan.

Lori Nixon Bethea, PhD, pemilik Intentional Hearts Counseling Services, layanan konsultasi pasangan di AS menjelaskan, pelaku love bombing berusaha untuk segera mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari pasangan atau targetnya.

Maka mereka berusaha menampilkan citra diri yang ideal dengan berbagai gestur romantis.

Baca juga: Apakah Kita Benar-benar Jatuh Cinta? Kenali Tandanya

Ami Kaplan, LCSW, seorang psikoterapis di New York City menilai semua orang dapat menjadi pelaku love bombing, meskipun itu bisa menjadi gejala gangguan kepribadian narsistik.

"Love bombing sebagian besar merupakan perilaku yang tidak disadari," jelasnya.

Namun ketika pelaku sudah merasa mendapatkan pasangannya dan memiliki hubungan yang aman maka sisi narsisisnya keluar.

Mereka biasanya beralih dan menjadi pribadi yang sangat sulit, kasar, manipulatif atau merendahkan pasangannya.

Meski demikian, praktik love bombing bukan hanya terjadi pada hubungan romantis saja.

Istilah ini pertama kali diciptakan merujuk pada perilaku pemimpin sekte Unification Church of the United States saat merekrut anggota baru.

Pemimpin kultus narsistik lainnya menggunakan metode ini untuk penguatan positif yang berlebihan untuk menghasilkan perasaan persatuan dan kesetiaan yang kuat sehingga orang tersebut bergabung dengan kelompoknya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com