Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Mengenal Superiority Complex, Orang yang Selalu Merasa Superior

Kompas.com - 16/02/2022, 09:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Nika Halida Hashina & Ristiana D Putri

DALAM hubungan sosial, kita tidak bisa menampik jika ada saja orang yang lebih unggul dalam beberapa aspek.

Hal ini wajar karena sejatinya setiap individu memang memiliki perbedaan.

Akan tetapi, kita pasti pernah bertemu orang yang selalu ingin menunjukkan bahwa dirinya tampil lebih baik dibanding yang lain.

Ternyata, ranah psikologi juga membahas hal ini. Timothy Legg, seorang psikiater asal Amerika Serikat membenarkan adanya tanda-tanda nyata mengenai perilaku ini.

Menurut dia, superiority complex adalah perilaku yang menunjukkan bahwa seseorang percaya kalau mereka lebih unggul dari orang lain.

Orang dengan perilaku ini sering membanggakan dan memiliki pendapat berlebihan tentang diri mereka sendiri.

Perilaku ini pertama kali dikemukakan oleh Alfred Adler, seorang tokoh psikolog individual dunia.

Superiority complex pertama kali disebutkan dalam karyanya pada awal abad ke-20.

Dia juga menyatakan bahwa superiority complex merupakan mekanisme pertahanan untuk perasaan tidak mampu yang setiap individu perjuangkan.

Dengan kata lain, superiority complex ini tidak selalu dilakukan oleh mereka yang “hebat”, tetapi ada kemungkinan sebenarnya mereka hanya sedang menyembunyikan rasa rendah diri, seperti malu akan kegagalan.

Namun, mereka menyembunyikannya dengan bersikap sombong terhadap orang-orang di sekitarnya.

Padahal, orang yang benar-benar mampu tak akan menunjukkan kehebatannya secara sengaja.

Apa penyebab superiority complex?

Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai alasan perilaku ini bisa berkembang dalam diri individu.

Namun, melihat asumsi Alfred, perilaku ini biasa ditunjukkan oleh orang-orang yang tidak menerima kegagalan.

Mereka belajar menangani kecemasan dan stres akibat kegagalan dengan berpura-pura baik-baik saja agar harga dirinya terjaga.

Mereka merasa terlindungi dari kegagalan mereka dengan cara ini. Singkatnya, mereka belajar melepaskan diri dari perasaan tidak mampu dengan membual dan berpura-pura lebih baik dari orang lain.

Akan tetapi, bagi orang-orang di sekitarnya, perilaku tersebut mungkin terlihat sombong dan arogan.

Perilaku ini sering terjadi pada anak kecil, seperti saat membanggakan mainan di depan teman lainnya.

Pada orang dewasa, perasaan yang muncul mungkin jauh lebih kompleks. Bisa saja dilatarbelakangi oleh tekanan sosial, tidak ingin dipandang lemah, atau untuk menekan perasaan tidak mampu dan takut.

Kita mungkin dapat melihat beberapa tanda-tandanya pada orang lain. Akan tetapi, mengenali bahwa kita juga memilikinya pasti tidak mudah.

Banyak dari "gejala" ini disebabkan oleh gangguan kesehatan mental lainnya, termasuk gangguan kepribadian narsistik dan gangguan bipolar.

Bagaimana menangani superiority complex?

Superiority complex belum didiagnosis sebagai gangguan mental secara resmi. Oleh karena itu, belum ada pengobatan khusus yang dapat dilakukan.

Akan tetapi, kita dapat mengunjungi psikolog atau psikiater terdekat dengan menceritakan secara menyeluruh apa yang dirasakan jika merasa memiliki tanda–tandanya.

Dengan pendampingan profesional, mereka akan membantu kita untuk lebih memahami masalah yang mendasari perilaku ini muncul. Setidaknya, mereka dapat memberikan saran yang tepat untuk mengatasinya.

Terkadang, apa yang kita lakukan memang tidak dapat dinilai sendiri. Terlebih perihal emosi yang mungkin sulit untuk dikontrol.

Penting untuk menjaga diri, seperti lebih banyak berpikir positif, menjaga perkataan atau berpikir kembali sebelum berbicara, tidak memandang orang lain dengan rendah, dan lain-lain.

Pada kasus perilaku ini, terapi wicara adalah pengobatan umum yang dirasa tepat. Ketika berkonsultasi, seorang psikolog atau terapis akan membantu menilai dilema yang kita miliki dengan benar.

Kita juga boleh meminta mereka untuk menilai respons yang diberikan dalam berbagai situasi. Hal itu bisa berguna apabila sewaktu-waktu kita merasakan tekanan yang serupa.

Gangguan ini memang tidak berdampak signifikan bagi kesehatan, namun kerugian yang bisa didapat adalah hubungan sosial yang rusak.

Kebohongan dan pembualan dapat menjengkelkan bagi orang lain dan dapat berdampak negatif bagi diri sendiri.

Jika kita menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki masalah ini, maka doronglah mereka untuk mencari bantuan.

Dengan begitu, mereka dapat menemukan cara yang lebih sehat untuk mengatasi perasaan tersembunyi ini.

Salah satu kisah yang menunjukkan gejala superiority complex ini dapat didengarkan melalui siniar Dongeng Pilihan Orang Tua pada episode Dongeng Peternak yang Cerdas.

Dengarkan episode selengkapnya dengan mengakses tautan berikut https://spoti.fi/3rDL1Qc.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com