KOMPAS.com - Istilah healing kerap muncul seiring makin tingginya kepedulian pada isu kesehatan mental.
Healing kini jadi bahasan utama, baik di percakapan dunia nyata maupun di media sosial.
Baru-baru ini, Twitter bahkan gaduh karena unggahan terkait healing di salah satu akun, yang isinya memicu emosi netizen.
[cm] gimana kata" untuk ngeyakinin orang tua gue ???? pic.twitter.com/TuL9rCpkpr
— Bootcamp MySkill x Colle (@collegemenfess) February 12, 2022
Banyak yang menganggap unggahan tersebut berlebihan dan membuktikan adanya salah persepsi soal healing.
Perasaan lelah yang muncul karena kuliah, seperti isi unggahan tersebut, dinilai tidak seharusnya membutuhkan proses healing.
Baca juga: 7 Tahapan Meditasi untuk Emotional Healing
Pemilik unggahan itu dianggap bersikap berlebihan dan melakukan self diagnosis atas kondisinya pribadi, tanpa dasar yang jelas.
Terlepas perdebatan yang riuh di media sosial, kapan kita sebenarnya perlu melakukan healing demi menjaga kesehatan mental?
Arindah Arimoerti Dano, psikolog klinis di layanan konseling Pijar Psikologi, mengatakan, healing diperlukan ketika ada luka batin yang besar, signifikan, kuat, dan sangat berpengaruh pada kehidupan kita.
"Healing lekat dengan pengalaman dalam, tajam, membekas dalam hidup kita sehingga membutuhkan perhatian khusus," jelasnya saat berbincang dengan Kompas.com, Jumat (17/2/2022).
Pengalaman ini sangat subjektif dan bentuknya bisa berbeda-beda bagi setiap orang.
Baca juga: Tren Healing dengan Staycation dan Liburan, Apa Kata Pakar?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.