Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapan Kita Benar-benar Perlu Healing demi Kesehatan Mental?

Kompas.com - Diperbarui 18/02/2022, 23:40 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

KOMPAS.com - Istilah healing kerap muncul seiring makin tingginya kepedulian pada isu kesehatan mental.

Healing kini jadi bahasan utama, baik di percakapan dunia nyata maupun di media sosial.

Baru-baru ini, Twitter bahkan gaduh karena unggahan terkait healing di salah satu akun, yang isinya memicu emosi netizen.

Banyak yang menganggap unggahan tersebut berlebihan dan membuktikan adanya salah persepsi soal healing.

Perasaan lelah yang muncul karena kuliah, seperti isi unggahan tersebut, dinilai tidak seharusnya membutuhkan proses healing.

Baca juga: 7 Tahapan Meditasi untuk Emotional Healing

Pemilik unggahan itu dianggap bersikap berlebihan dan melakukan self diagnosis atas kondisinya pribadi, tanpa dasar yang jelas.

Terlepas perdebatan yang riuh di media sosial, kapan kita sebenarnya perlu melakukan healing demi menjaga kesehatan mental?

Kapan kita membutuhkan healing?

Arindah Arimoerti Dano, psikolog klinis di layanan konseling Pijar Psikologi, mengatakan, healing diperlukan ketika ada luka batin yang besar, signifikan, kuat, dan sangat berpengaruh pada kehidupan kita.

"Healing lekat dengan pengalaman dalam, tajam, membekas dalam hidup kita sehingga membutuhkan perhatian khusus," jelasnya saat berbincang dengan Kompas.com, Jumat (17/2/2022).

Pengalaman ini sangat subjektif dan bentuknya bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Baca juga: Tren Healing dengan Staycation dan Liburan, Apa Kata Pakar?

Kadang kala, tidak perlu satu pengalaman spesifik untuk memicu kebutuhan kita untuk healing.

"Bisa saja ada luka yang sudah lama dirasakan terkait pengalaman dari orangtua yang berpengaruh pada hubungan dan komunikasi kita pada pasangan sehingga butuh healing," kata Arindah.

Kondisi tersebut, contohnya, membuat hubungan kita tidak sehat atau mental jadi tidak stabil dan efeknya baru dirasakan sekarang.

Sebagai bagian dari cara self healing, luangkanlah waktu untuk fokus pada bagian-bagian tubuh berbeda dan apa yang kita rasakan.PEXELS/ALEXANDR PODVALNY Sebagai bagian dari cara self healing, luangkanlah waktu untuk fokus pada bagian-bagian tubuh berbeda dan apa yang kita rasakan.
Terkait unggahan viral soal healing itu, Arindah berpendapat, kita tidak bisa meremehkannya begitu saja.

"Kita tidak bisa benar-benar menyimpulkan apakah kondisi orang lain itu layak, butuh healing atau tidak karena tidak pernah benar-benar tahu pengalamannya gimana," katanya lagi.

Bisa jadi, tambah jebolan Universitas Gadjah Mada ini, orang tersebut sudah terlalu burn out dengan perkuliahannya di kampus atau urusan di rumah.

Namun, Arindah menambahkan, kita perlu benar-benar membedakan mana yang sekadar kelelahan atau benar-benar perlu healing.

Luka batin yang perlu healing, tambahnya, membuat kesehatan mental kita tidak stabil sehingga berdampak jangka panjang, besar, dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan.

Healing sering kali memicu perasaan sakit dan tidak nyaman

Banyak orang mengekspresikan depresi lewat rasa frustrasi, kemarahan, dan mudah terganggu. Masing-masing emosi tersebut bisa menjawab kenapa kita menangis tiba-tiba ketika mengalami depresi.PIXABAY/VICTORIA_BORODINOVA Banyak orang mengekspresikan depresi lewat rasa frustrasi, kemarahan, dan mudah terganggu. Masing-masing emosi tersebut bisa menjawab kenapa kita menangis tiba-tiba ketika mengalami depresi.
Healing adalah proses penyembuhan yang melibatkan refleksi diri agar bisa menjalani hidup dengan kondisi kesehatan mental yang lebih baik.

Untuk setiap orang, proses healing bisa amat berbeda dengan kecepatannya masing-masing.

"Penekanannya pada proses healing itu adalah harus ada upaya nyata untuk menyembuhkan lukanya itu," kata Arindah.

Ia menganalogikan healing seperti merawat luka fisik terbuka akibat jatuh yang prosesnya seringkali perih, tidak nyaman dan sakit.

"Kita bersihkan lukanya, dikasi obat, diberikan salep sampai ditutip agar kembali pulih seperti sedia kala," katanya.

"Kalau luka diobati pasti harus disentuh, diberikan perawatan sehingga perjalanan healing itu tidak enak."

Sebagai contoh, korban pelecehan seksual bisa melakukan healing dengan belajar memaafkan dirinya sendiri dan menyadari itu bukan kesalahannya.

"Itu kan rasanya tidak nyaman, bikin kesal namun kita mencoba membuat cara berpikir yang baru sehingga bisa lebih tenang dan tidak trauma lagi," jelas Arindah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com