Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Evaluasi Gaya Klinisi di Ranah Edukasi

Kompas.com - 28/02/2022, 19:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Duet maut ketidakmampuan nakes melakukan edukasi yang tepat saat ibu punya masalah di masa menyusui, ditambah riuh rendahnya promosi susu pengganti ASI membuat carut marut kisruhnya ancaman stunting yang berlarut-larut.

Hanya sebagian kecil spesialis anak dan bidan kita yang punya kompetensi sebagai konsultan laktasi. Apalagi dokter umum. Apalagi ahli gizi. Jangan ditanya.

Jadi, ketika seorang ibu mengeluhkan bayinya 2 bulan berturut-turut berat badan tidak naik, maka sudut pandang klinisi yang akan mengintervensi: resepkan susu formula.

Ini mirip seperti orang dewasa dengan diabetes tipe 2 dengan gula darah amburadul oleh dokter langsung dihajar obat diabetes, bahkan jika perlu suntik insulin – sebelum mengevaluasi pola makan dan gaya hidup pasiennya.

Terlalu njlimet, melelahkan dan pasien belum tentu bisa menjalani. Begitu kerap jadi alasan para klinisi yang menggunakan istilah edukasi hanya dengan sebaris kalimat basi, “Jaga makan ya, jangan kebanyakan yang manis-manis, perbanyak olah raga…”

Baca juga: Mandy Moore Membawa Pompa ASI ke Acara Emmy Awards 2021

Betapa mengerikannya apabila intervensi medikalisasi mengatasi edukasi yang semestinya berjalan di lini terdepan.

Masyarakat kita diandaikan ‘sakit’ – yang mesti diobati. Begitu pula bayi-bayi yang mengalami weight faltering diandaikan satu-satunya cara adalah memberi susu formula yang dianggap ‘win win solution’. Ibunya tetap ‘waras’ (ya sudahlah, enggak bisa menyusui karena kesibukan kerja, karena tidak ada dukungan, karena tidak cukup nutrisi, dan 1001 alasan lain) dan bayinya mendapat asupan pengganti.

Lalu, masalah selesai? Tunggu dulu. Yang terjadi justru kebalikannya. Ada bayi yang makin menderita karena intoleransi laktosa susu sapi.

Alih-alih menggemuk, dia makin kurus dengan seringnya diare. Diare semakin parah dengan masalah kebersihan – sebab hanya ASI yang steril. Ibu justru semakin repot dengan sterilitas dot, botol susu, dan air yang digunakan.

Formula adalah produk ultra proses. Yang artinya, pasti punya risiko tidak cocok bagi manusia. Apalagi di masa tumbuh kembang yang amat krusial. Itu sebabnya, kasta susu formula beraneka.

Saat bayi menderita alergi dan intoleransi, dokter akan meresepkan kasta lain yang lebih mahal. Itu pun belum langsung manjur. Gonta ganti formulasi ‘mencari yang terbaik’. Dan ekonomi keluarga kian tercekik. Terbayang kenapa ada berita tindak kriminal demi sekotak susu?

Drama susu formula bukan hanya sebatas pengganti ASI. Sekarang makin menjadi-jadi. Ketika anak menolak Makanan Pendamping ASI, memasang Gerakan tutup mulut di saat tumbuh gigi dan sakit, jurus resep susu formula dilancarkan kembali.

Bahkan ada anjuran, hentikan ASI sama sekali, enggak apa-apa anak enggak makan, asal susunya lancar.

Kisah ini berlangsung hingga anak lepas masa MPASI, di usia 3 tahun menolak makan, menghabiskan berkarton-karton susu, dan orangtua mulai panik. Dan biasanya anak seperti ini pun tidak lagi terbiasa makan makanan utuh. Sekali lagi, makan dari kemasan.

Sebab, bayi-bayi yang menyusu baik justru menurunkan risiko konsumsi produk makanan dan minuman kemasan di bawah usia 2 tahun (Spaniol et al. BMC Public Health, 2020).

Baca juga: Sudah Diberi ASI tapi Bayi Masih Menangis, Apa Penyebabnya?

Jangan mengira semua kejadian di atas terjadi pada orang kota. Di banyak kampung dan pelosok tanah air, banyak komunitas yang justru saling berlomba membanggakan susu formula anak-anaknya.

Semakin mahal semakin bergengsi. Bahkan, para mertua ikut promosi, susu sang cucu bikin gemuk lucu, berharap jadi juara kelas seperti iklannya yang kelewat batas!

Di saat yang sama, masih ada dokter yang berujar, “ASI anda sudah bening. Enggak ada gizinya!” Ada juga ibu-ibu yang menangis mengadu, ”ASI saya dibilang sudah basi. Kelamaan tidak diperah. Racun buat bayi.”

Mendidik masyarakat untuk sekaligus mengentaskan masalah kesehatan bukan hal yang mudah. Di Indonesia saja, ahli gizi punya ranahnya masing-masing.

Spesialis gizi klinik bekerja di area yang tidak sama dengan ahli gizi masyarakat. Sebab apa yang berlaku privat di kamar praktek, adalah kasus demi kasus yang amat spesifik, tidak bisa dijadikan pedoman umum di lapangan hingga pedalaman.

Dan di era digital ruang belajar tanpa dinding saat ini, hati-hatilah membuat intervensi. Sudah waktunya kompetensi tenaga kesehatan dilirik, agar mereka menjadi garda terdepan mendukung tindakan pencegahan, sebelum lari ke pengobatan.

Baca juga: Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI di Indonesia Belum Optimal

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com