Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Evaluasi Gaya Klinisi di Ranah Edukasi

Kompas.com - 28/02/2022, 19:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Beberapa hari yang lalu WHO dan Unicef merilis informasi yang cukup menghentak dunia, tentang pemasaran dan bisnis susu formula yang meraup lebih dari 55 miliar dolar Amerika Serikat per tahun.

Kumpulan data dari pengalaman 8500 perempuan, lebih dari 300 tenaga kesehatan di 8 negara (Bangladesh, Tiongkok, Meksiko, Maroko, Nigeria, Afrika selatan, Inggris dan Vietnam) menunjukkan, agresivitas praktek pemasaran industri susu dan imbasnya terhadap pengaruh pengambilan keputusan para ibu dan keluarga.

Di Indonesia sendiri, publikasi tersebut mendapat tanggapan beragam dan tak jarang WHO malah diserang oleh para ibu yang sejak anaknya lahir menjadi konsumen susu formula.

Baca juga: Risiko Jika Bayi di Pengungsian Diberi Susu Formula

Menganggap hak pilihan konsumsi terzolimi, bahkan mempertanyakan kewarasan petinggi Lembaga dunia seakan-akan susu formula ‘racun’ – padahal menurut para ibu ini, tidak semua perempuan ‘bisa menyusui anaknya’.

Begitu pula sebagian besar bidan dan spesialis anak justru menganjurkan susu formula sebagai ‘dongkrak’ saat bayi mengalami weight faltering alias pertumbuhan berat badan yang ‘seret’ selagi usia ASI eksklusif menjelang bulan ke 3 dan 4. Ada apa sebenarnya di balik semua kekisruhan ini?

Anjuran WHO untuk para bayi menyusu secara eksklusif selama enam bulan pertama mempunyai sejarah panjang dan studi berbasis bukti yang amat sahih dari seluruh dunia (yang mencakup negara adi daya hingga dunia ke 3) – dimulai dari rekomendasi awal pada tahun 2001 (World Health Organization. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding: Report of an Expert Consultation. Geneva; 2001) dan ditegaskan kembali pada tahun 2012 (Kramer MS, Kakuma R. Optimal duration of exclusive breastfeeding. Cochrane Database Syst Rev. 2012).

Penegasan lebih lanjut dapat dipelajari dalam laman IBFAN (International Baby Food Action Network), yang merupakan jejaring kerja sama pelbagai organisasi di seluruh dunia yang bertujuan menekan angka kesakitan dan kematian bayi serta anak).

Menyusui adalah normalitas yang perlu dijaga seperti halnya melahirkan anak per vaginam, melalui jalur persalinan wajar.

Peran nakes dan orang-orang di sekitar ibu menjadi kontributor penting dalam pengambilan keputusan.

Sebab melahirkan dan menyusui adalah aktivitas ‘tandem’ antara ibu dan bayi, bayi tidak bisa memilih mau dilahirkan dengan cara apa dan disusui ibunya atau tidak. Literasi dan edukasi calon ibu menjadi kunci.

Dan bagaimana kunci ini bisa digunakan dengan benar tergantung dengan siapa si calon ibu berinteraksi.

Sekali lagi, menyusui adalah kondisi normal dan fisiologis. Artinya, bayi sehat dari ibu yang sehat perlu mendapat edukasi, bagaimana situasi membahagiakan ini berlangsung terus saat anak tumbuh baik sesuai harapan.

Tapi hidup itu berdinamika. Artinya, ibu yang berhasil melakukan inisiasi menyusu dini dan bayinya tumbuh gemuk di bulan pertama bukan jaminan seterusnya akan begitu.

Apalagi, jika sejak awal dilahirkan ibu belum memahami sama sekali prinsip-prinsip keberhasilan menyusui dan perlekatan yang baik. Karena saat hamil lebih sering terpapar iklan aneka jualan.

Belum lagi, di setiap laman ‘marketplace online’ terselip aneka promosi ‘susu pendamping asi’. Ditambah bocornya data pasien dari klinik-klinik dan rumah sakit pindah ke tangan jejaring industri susu yang siap menyerbu.

Baca juga: Pentingnya IMD dan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi untuk Cegah Stunting

 

Duet maut ketidakmampuan nakes melakukan edukasi yang tepat saat ibu punya masalah di masa menyusui, ditambah riuh rendahnya promosi susu pengganti ASI membuat carut marut kisruhnya ancaman stunting yang berlarut-larut.

Hanya sebagian kecil spesialis anak dan bidan kita yang punya kompetensi sebagai konsultan laktasi. Apalagi dokter umum. Apalagi ahli gizi. Jangan ditanya.

Jadi, ketika seorang ibu mengeluhkan bayinya 2 bulan berturut-turut berat badan tidak naik, maka sudut pandang klinisi yang akan mengintervensi: resepkan susu formula.

Ini mirip seperti orang dewasa dengan diabetes tipe 2 dengan gula darah amburadul oleh dokter langsung dihajar obat diabetes, bahkan jika perlu suntik insulin – sebelum mengevaluasi pola makan dan gaya hidup pasiennya.

Terlalu njlimet, melelahkan dan pasien belum tentu bisa menjalani. Begitu kerap jadi alasan para klinisi yang menggunakan istilah edukasi hanya dengan sebaris kalimat basi, “Jaga makan ya, jangan kebanyakan yang manis-manis, perbanyak olah raga…”

Baca juga: Mandy Moore Membawa Pompa ASI ke Acara Emmy Awards 2021

Betapa mengerikannya apabila intervensi medikalisasi mengatasi edukasi yang semestinya berjalan di lini terdepan.

Masyarakat kita diandaikan ‘sakit’ – yang mesti diobati. Begitu pula bayi-bayi yang mengalami weight faltering diandaikan satu-satunya cara adalah memberi susu formula yang dianggap ‘win win solution’. Ibunya tetap ‘waras’ (ya sudahlah, enggak bisa menyusui karena kesibukan kerja, karena tidak ada dukungan, karena tidak cukup nutrisi, dan 1001 alasan lain) dan bayinya mendapat asupan pengganti.

Lalu, masalah selesai? Tunggu dulu. Yang terjadi justru kebalikannya. Ada bayi yang makin menderita karena intoleransi laktosa susu sapi.

Alih-alih menggemuk, dia makin kurus dengan seringnya diare. Diare semakin parah dengan masalah kebersihan – sebab hanya ASI yang steril. Ibu justru semakin repot dengan sterilitas dot, botol susu, dan air yang digunakan.

Formula adalah produk ultra proses. Yang artinya, pasti punya risiko tidak cocok bagi manusia. Apalagi di masa tumbuh kembang yang amat krusial. Itu sebabnya, kasta susu formula beraneka.

Saat bayi menderita alergi dan intoleransi, dokter akan meresepkan kasta lain yang lebih mahal. Itu pun belum langsung manjur. Gonta ganti formulasi ‘mencari yang terbaik’. Dan ekonomi keluarga kian tercekik. Terbayang kenapa ada berita tindak kriminal demi sekotak susu?

Drama susu formula bukan hanya sebatas pengganti ASI. Sekarang makin menjadi-jadi. Ketika anak menolak Makanan Pendamping ASI, memasang Gerakan tutup mulut di saat tumbuh gigi dan sakit, jurus resep susu formula dilancarkan kembali.

Bahkan ada anjuran, hentikan ASI sama sekali, enggak apa-apa anak enggak makan, asal susunya lancar.

Kisah ini berlangsung hingga anak lepas masa MPASI, di usia 3 tahun menolak makan, menghabiskan berkarton-karton susu, dan orangtua mulai panik. Dan biasanya anak seperti ini pun tidak lagi terbiasa makan makanan utuh. Sekali lagi, makan dari kemasan.

Sebab, bayi-bayi yang menyusu baik justru menurunkan risiko konsumsi produk makanan dan minuman kemasan di bawah usia 2 tahun (Spaniol et al. BMC Public Health, 2020).

Baca juga: Sudah Diberi ASI tapi Bayi Masih Menangis, Apa Penyebabnya?

Jangan mengira semua kejadian di atas terjadi pada orang kota. Di banyak kampung dan pelosok tanah air, banyak komunitas yang justru saling berlomba membanggakan susu formula anak-anaknya.

Semakin mahal semakin bergengsi. Bahkan, para mertua ikut promosi, susu sang cucu bikin gemuk lucu, berharap jadi juara kelas seperti iklannya yang kelewat batas!

Di saat yang sama, masih ada dokter yang berujar, “ASI anda sudah bening. Enggak ada gizinya!” Ada juga ibu-ibu yang menangis mengadu, ”ASI saya dibilang sudah basi. Kelamaan tidak diperah. Racun buat bayi.”

Mendidik masyarakat untuk sekaligus mengentaskan masalah kesehatan bukan hal yang mudah. Di Indonesia saja, ahli gizi punya ranahnya masing-masing.

Spesialis gizi klinik bekerja di area yang tidak sama dengan ahli gizi masyarakat. Sebab apa yang berlaku privat di kamar praktek, adalah kasus demi kasus yang amat spesifik, tidak bisa dijadikan pedoman umum di lapangan hingga pedalaman.

Dan di era digital ruang belajar tanpa dinding saat ini, hati-hatilah membuat intervensi. Sudah waktunya kompetensi tenaga kesehatan dilirik, agar mereka menjadi garda terdepan mendukung tindakan pencegahan, sebelum lari ke pengobatan.

Baca juga: Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI di Indonesia Belum Optimal

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com