Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/03/2022, 07:36 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Wisnubrata

Tim Redaksi

Sumber BBC

Anat Lechner, profesor manajemen klinis di New York University menyebut gaya hidup ini akhirnya diglorifikasi orang-orang.

"Kami memuliakan gaya hidup, dan gaya hidup adalah: Anda bekerja seperti bernafas, Anda tidur dengan pekerjaan, Anda bangun dan mengerjakan pekerjaan sepanjang hari, lalu Anda pergi tidur," katanya.

Baca juga: Sibuk Kerja Berlebihan, Hidup Terasa Lebih Buruk

Budaya kerja berlebihan seiring zaman

Akar kultus kerja yang berlebihan bermula dari etos kerja Protestan pada abad ke-16.

Saat itu pandangan dunia dipegang oleh orang kulit putih Protestan di Eropa yang membuat kerja keras dan pencarian keuntungan adalah tindakan berbudi luhur.

Kemudian, kerja berlebihan yang juga diikuti dengan konsumerisme merajarela ketika Inggris dipimpin Margaret Thatcher dan AS dipimpin Ronald Reagan.

Setelah itu, pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, kerja berlebihan semakin menjadi-jadi ketika Google dan Facebook mulai tumbuh.

Masyarakat mulai "memuliakan" para wirausahawan yang mengatakan mereka ingin mengubah dunia.

Tapi, saat ini alasannya berbeda. Banyak orang bekerja berjam-jam untuk melunasi hutang, sekadar mempertahankan pekerjaan mereka, atau gengsi semata.

Hal ini lambat laun mengakibatkan angka burnout menjadi meningkat di kaalangan para pekerja.

Burnout menjadi salah satu tanda bahwa kerja berlebihan tidaklah baik bagi kesehatan seseorang.

Burnout memiliki siklus seperti dimulai, kemudian mereda, dan kembali lagi,” kata Maslach, yang telah mempelajari burnout sejak tahun 1970-an.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan dari stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola.

Burnout ditandai dengan perasaan kelelahan, perasaan negatif tentang pekerjaan, dan penurunan profesionalisme.

Dengan kata lain, burnout membuat orang-orang merasa tidak manusiawi, lelah secara fisik dan emosional, dan mempertanyakan mengapa mereka mengambil pekerjaan itu.

WHO secara resmi mengakui burnout sebagai fenomena pekerjaan pada tahun 2019.

"Kita hidup dalam budaya 24 jam seminggu. Media sosial 24 jam seminggu, komunikasi 24 jam seminggu, semuanya 24 seminggu. Tidak ada batasan tetap itu," kata Lechner.

Beberapa perusahaan yang menyadari kelelahan pada pekerjanya memang telah menawarkan program kesehatan mental.

Seperti memberikan fasilitas sesi terapi gratis atau akses gratis ke aplikasi kesehatan.

Namun, para ahli berpikir, sangat kecil kemungkinannya bahwa orang-orang memasuki era baru yang memprioritaskan kesejahteraan atas kerja berlebihan.

Baca juga: Mengenal Burnout, Penyebab, dan Cara Menanganinya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com