Semua orang kini menjadikannya konten media sosial yang sukses menarik perhatian netizen.
Konten seperti itu juga paling mudah menghasilkan uang, sebagai metode baru memasang iklan dan mencari sponsor.
"Ketika Anda mengklik video yang disponsori, Anda telah membuat pilihan untuk menontonnya," kata Tim Kasser, seorang psikolog di Knox College, AS.
Tampilan hiperkonsumerisme ini kadang dibalut dengan sesuatu yang berbeda seperti berdonasi dalam jumlah besar, memberikan bantuan secara cuma-cuma atau hadiah mewah.
Tentunya, semuanya didokumentasikan di media sosial yang membuat sifat "murah hati" itu menjadi lebih mencolok.
Baca juga: Mengintip Gaya Hidup Crazy Rich Asia di Acara Bling Empire
Lara Aknin, seorang psikolog sosial di Universitas Simon Fraser, Kanada menilai influencer semacam ini tidak benar-benar ingin mengejar popularitas.
Mereka memang mendapatkan popularitas namun tujuan utamanya adalah meningkatkan status sosial.
Konten semacam itu ampuh untuk menarik penonton yang masih muda dan atau hidup dalam ekonomi yang belum mapan.
Khususnya dalam situasi dengan kondisi kesenjangan yang lebar antara yang kaya dan yang miskin.
Tren pamer harta crazy rich di Instagram itu sendiri dinilai kurang baik untuk branding merek tertentu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.