Lara Aknin, seorang psikolog sosial di Universitas Simon Fraser, Kanada menilai influencer semacam ini tidak benar-benar ingin mengejar popularitas.
Mereka memang mendapatkan popularitas namun tujuan utamanya adalah meningkatkan status sosial.
Konten semacam itu ampuh untuk menarik penonton yang masih muda dan atau hidup dalam ekonomi yang belum mapan.
Khususnya dalam situasi dengan kondisi kesenjangan yang lebar antara yang kaya dan yang miskin.
Tren pamer harta crazy rich di Instagram itu sendiri dinilai kurang baik untuk branding merek tertentu.
Sejumlah toko retail di Brasil mendapatkan banyak permintaan refund untuk produk fashionnya karena konsumennya tidak mampu membayarnya
“Konsumen tidak mampu membayarnya dan hanya membelinya untuk mengambil foto Instagram atau merekam video YouTube,” kata Carla Abdalla.
Selain itu, tren flexing ini juga membuat banyak orang memaksa terlihat meniikmati kehidupan mewah yang palsu.
Misalnya rela mengedit videonya agar tampak sedang berada di lokasi toko brand mewah.
Di sisi lain, remaja yang berpenghasilan terbatas kemudian merasa perlu membeli pakaian desainer sebelum bisa diterima di banyak tempat maupun lingkungan sosialnya.
Baca juga: Bukan Uang atau Harta, Ada 3 Hal yang Bikin Manusia Lebih Bahagia
Namun mengapa orang senang menyimak konten pamer harta para crazy rich?
Tim Kasser menilai ini memberikan imajinasi menyenangkan untuk para penontonnya.
Sejumlah crazy rich mengaku hidup miskin sebelum berhasil membangun kariernya dan kaya raya.
"'Mulai dari bawah, sekarang kita di sini" begitu narasinya. Mungkin itu sebabnya penggemar mencintai mereka, meskipun mereka sombong," kata Kasser.
Kita kemudian membayangkan bisa menjadi seperti mereka dan memberikan hadiah mewah, seperti tas harga miliaran, untuk orang tersayang.