Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsep Hybrid Working Bikin Karyawan Kelelahan, Kenapa?

Kompas.com - 17/03/2022, 10:24 WIB
Gading Perkasa,
Wisnubrata

Tim Redaksi

Secara teori, hybrid working adalah bentuk kesepakatan kerja terbaik antara perusahaan dan karyawan.

Sistem ini menggabungkan pola bekerja pra-pandemi dan WFH, sehingga karyawan dapat berkolaborasi dengan rekan kerja dan membentuk tim, sekaligus bekerja lebih fleksibel dan lebih fokus di rumah.

Hybrid working tampak menguntungkan bagi para pekerja. Dalam satu studi di bulan Mei 2021, sebanyak 83 persen responden mengatakan mereka ingin mengikuti hybrid working setelah pandemi.

"Ada dugaan hybrid working akan menjadi yang terbaik bagi kedua belah pihak," kata Elora Voyles, psikolog organisasi industri dan ilmuwan manusia di Tinypulse.

"Bagi atasan, itu artinya mereka memertahankan kendali dan dapat melihat karyawan secara langsung."

"Bagi karyawan, sistem ini menawarkan lebih banyak fleksibilitas daripada bekerja penuh waktu di kantor dan mereka dapat bekerja dengan aman selama pandemi."

Namun, karena unsur kebaruan hybrid working sudah memudar (tidak lagi menjadi tren), antusiasme karyawan juga menurun.

"Kami menemukan, orang-orang tidak lagi memandang positif tentang hybrid working seiring berjalannya waktu," jelas Voyles.

"Banyak organisasi sangat tertarik untuk menerapkan sistem tersebut. Perusahaan mengatur karyawan untuk hybrid working, tetapi kemudian mengalami kesulitan."

Organisasi yang belum pernah menerapkan hybrid working --seperti perusahaan Klara-- tiba-tiba membuat kebijakan itu dengan cepat, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan karyawan.

Antusiasme para pekerja terkait hybrid working berujung pada rasa lelah.

Dalam survei yang dilakukan Tinypulse terhadap 100 pekerja global, 72 persen melaporkan kelelahan karena hybrid working.

Persentase ini hampir dua kali lipat dibandingkan karyawan yang sepenuhnya bekerja remote.

Juga, kelelahan akibat hybrid working jauh lebih besar daripada karyawan yang 100 persen bekerja di kantor.

Voyles mengatakan, ukuran sampel yang kecil mencerminkan gambaran yang lebih luas.

Ia meyakini, hybrid working adalah gangguan terhadap rutinitas karyawan, yang membuat karyawan kelelahan.

"Rutinitas yang konsisten dan dapat diprediksi bisa membantu seseorang mengatasi perasaan stres dan ketidakpastian, terutama selama pandemi," kata Voyles.

"Hybrid, di sisi lain, membutuhkan perubahan yang sering pada kebiasaan sehari-hari, pekerja harus terus-menerus mengubah keadaan, jadi sulit untuk menemukan rutinitas ketika jadwal kita keluar dan masuk kantor."

Hal serupa disampaikan Gail Kinman, psikolog dan rekan peneliti di British Psychological Society.

"Beralih ke hybrid working berpotensi mengganggu rutinitas rumah dan kerja seseorang."

"Praktik hybrid belum menjadi kebiasaan, sehingga membutuhkan energi, organisasi, dan perencanaan yang lebih besar."

"Kita harus membentuk strategi baru yang tidak akan kita perlukan jika kita sepenuhnya bekerja remote atau bekerja di kantor," tambahnya.

Membawa pekerjaan bolak-balik ke kantor dan ke rumah juga bisa berdampak secara psikologis bagi karyawan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com