Seiring berjalannya waktu, sistem hybrid working justru membuatnya kesulitan.
"Saya merasa tenang dan fokus pada hari-hari saya bekerja dari rumah," tutur wanita itu.
"Tetapi pada malam hari, saya takut harus memikirkan kembali duduk di meja saya delapan jam sehari di kantor yang bising, menatap layar, menyesuaikan diri seperti sebelum pandemi."
Dengan hybrid working, dia merasa memiliki dua tempat kerja yang harus dipertahankan, satu di kantor dan satu lagi di rumah.
"Ini melibatkan perencanaan dan rutinitas berhenti dan memulai, yaitu membawa laptop saya ke dan dari kantor setiap hari, dan mengingat hal-hal penting apa yang saya tinggalkan di suatu tempat," tambahnya.
"Pergeseran psikologis, perubahan pengaturan setiap hari itu sangat melelahkan."
"Perasaan yang tidak pernah tenang, stres, dan pekerjaan rumah saya selalu terganggu."
Apa yang diceritakan oleh Klara didukung oleh data yang ada, di mana banyak pekerja melaporkan hybrid working menguras emosi mereka.
Dalam studi yang diadakan platform keterlibatan karyawan Tinypulse, lebih dari 80 persen orang melaporkan pengaturan seperti itu melelahkan bagi karyawan.
Pekerja juga melaporkan hybrid working lebih melelahkan secara emosional daripada kebijakan bekerja jarak jauh (remote working) dan bekerja di kantor secara full time.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.