"Kami menemukan, orang-orang tidak lagi memandang positif tentang hybrid working seiring berjalannya waktu," jelas Voyles.
"Banyak organisasi sangat tertarik untuk menerapkan sistem tersebut. Perusahaan mengatur karyawan untuk hybrid working, tetapi kemudian mengalami kesulitan."
Organisasi yang belum pernah menerapkan hybrid working --seperti perusahaan Klara-- tiba-tiba membuat kebijakan itu dengan cepat, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan karyawan.
Antusiasme para pekerja terkait hybrid working berujung pada rasa lelah.
Dalam survei yang dilakukan Tinypulse terhadap 100 pekerja global, 72 persen melaporkan kelelahan karena hybrid working.
Persentase ini hampir dua kali lipat dibandingkan karyawan yang sepenuhnya bekerja remote.
Juga, kelelahan akibat hybrid working jauh lebih besar daripada karyawan yang 100 persen bekerja di kantor.
Voyles mengatakan, ukuran sampel yang kecil mencerminkan gambaran yang lebih luas.
Ia meyakini, hybrid working adalah gangguan terhadap rutinitas karyawan, yang membuat karyawan kelelahan.
"Rutinitas yang konsisten dan dapat diprediksi bisa membantu seseorang mengatasi perasaan stres dan ketidakpastian, terutama selama pandemi," kata Voyles.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.