Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsep Hybrid Working Bikin Karyawan Kelelahan, Kenapa?

Kompas.com - 17/03/2022, 10:24 WIB
Gading Perkasa,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Belakangan ini, hybrid working sedang booming. Konsep kerja ini adalah mengombinasikan sistem bekerja di kantor dengan bekerja dari jarak jauh (remote).

Sederhananya, hybrid working adalah metode yang membuat karyawan leluasa untuk bekerja di kantor dengan bekerja dari rumah atau lokasi lain.

Kendati dipandang sebagai masa depan pekerjaan, hybrid working justru membuat karyawan kelelahan.

Satu cerita datang dari wanita bernama Klara. Ketika ditawari hybrid working oleh kantor, dia menganggap sistem kerja itu adalah yang terbaik.

Awalnya, ia bergabung dengan perusahaannya di London, Inggris sebagai account manager dengan kontrak full-time di kantor.

Namun, pandemi Covid-19 membuat Klara harus bekerja dari rumah.

Atasan Klara memperkenalkan kebijakan hybrid working pada September 2021, ketika pedoman dari pemerintah Inggris terkait bekerja dari rumah berakhir.

Pada hari Selasa dan Kamis, karyawan diminta bekerja dari rumah. Sedangkan tiga hari kerja lainnya, karyawan bekerja di kantor dengan jam kerja normal.

"Mendapatkan kebijakan hybrid working permanen awalnya melegakan," ucap Klara.

"Setelah bertahun-tahun bekerja penuh waktu di kantor, rasanya saya memiliki kendali atas jadwal kerja saya dan kehidupan di rumah."

Seiring berjalannya waktu, sistem hybrid working justru membuatnya kesulitan.

"Saya merasa tenang dan fokus pada hari-hari saya bekerja dari rumah," tutur wanita itu.

"Tetapi pada malam hari, saya takut harus memikirkan kembali duduk di meja saya delapan jam sehari di kantor yang bising, menatap layar, menyesuaikan diri seperti sebelum pandemi."

Dengan hybrid working, dia merasa memiliki dua tempat kerja yang harus dipertahankan, satu di kantor dan satu lagi di rumah.

"Ini melibatkan perencanaan dan rutinitas berhenti dan memulai, yaitu membawa laptop saya ke dan dari kantor setiap hari, dan mengingat hal-hal penting apa yang saya tinggalkan di suatu tempat," tambahnya.

"Pergeseran psikologis, perubahan pengaturan setiap hari itu sangat melelahkan."

"Perasaan yang tidak pernah tenang, stres, dan pekerjaan rumah saya selalu terganggu."

Apa yang diceritakan oleh Klara didukung oleh data yang ada, di mana banyak pekerja melaporkan hybrid working menguras emosi mereka.

Dalam studi yang diadakan platform keterlibatan karyawan Tinypulse, lebih dari 80 persen orang melaporkan pengaturan seperti itu melelahkan bagi karyawan.

Pekerja juga melaporkan hybrid working lebih melelahkan secara emosional daripada kebijakan bekerja jarak jauh (remote working) dan bekerja di kantor secara full time.

Sebenarnya, mengapa hybrid working dapat menyebabkan karyawan kelelahan secara emosional? Lalu, langkah apa yang dapat ditempuh karyawan dan perusahaan agar hybrid working berjalan dengan baik?

Baca juga: 6 Tips Menavigasi Pekerjaan Baru yang Fully Remote

Alasan hybrid working picu kelelahan

Mengurangi beban kerja bisa menjadi kunci untuk membantu kita menjalani hari dengan perasaan lebih baik, yang pada akhirnya dapat menjadi cara menghilangkan stres.PEXELS Mengurangi beban kerja bisa menjadi kunci untuk membantu kita menjalani hari dengan perasaan lebih baik, yang pada akhirnya dapat menjadi cara menghilangkan stres.
Selama pandemi, bekerja fleksibel dari rumah sudah menjadi rutinitas sehari-hari karyawan. Banyak perusahaan juga sudah menerapkan kebijakan bekerja remote.

Namun, sejumlah perusahaan menggunakan hybrid working sebagai model kerja baku setelah situasi dinilai aman untuk karyawan kembali bekerja di kantor.

Secara teori, hybrid working adalah bentuk kesepakatan kerja terbaik antara perusahaan dan karyawan.

Sistem ini menggabungkan pola bekerja pra-pandemi dan WFH, sehingga karyawan dapat berkolaborasi dengan rekan kerja dan membentuk tim, sekaligus bekerja lebih fleksibel dan lebih fokus di rumah.

Hybrid working tampak menguntungkan bagi para pekerja. Dalam satu studi di bulan Mei 2021, sebanyak 83 persen responden mengatakan mereka ingin mengikuti hybrid working setelah pandemi.

"Ada dugaan hybrid working akan menjadi yang terbaik bagi kedua belah pihak," kata Elora Voyles, psikolog organisasi industri dan ilmuwan manusia di Tinypulse.

"Bagi atasan, itu artinya mereka memertahankan kendali dan dapat melihat karyawan secara langsung."

"Bagi karyawan, sistem ini menawarkan lebih banyak fleksibilitas daripada bekerja penuh waktu di kantor dan mereka dapat bekerja dengan aman selama pandemi."

Namun, karena unsur kebaruan hybrid working sudah memudar (tidak lagi menjadi tren), antusiasme karyawan juga menurun.

"Kami menemukan, orang-orang tidak lagi memandang positif tentang hybrid working seiring berjalannya waktu," jelas Voyles.

"Banyak organisasi sangat tertarik untuk menerapkan sistem tersebut. Perusahaan mengatur karyawan untuk hybrid working, tetapi kemudian mengalami kesulitan."

Organisasi yang belum pernah menerapkan hybrid working --seperti perusahaan Klara-- tiba-tiba membuat kebijakan itu dengan cepat, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan karyawan.

Antusiasme para pekerja terkait hybrid working berujung pada rasa lelah.

Dalam survei yang dilakukan Tinypulse terhadap 100 pekerja global, 72 persen melaporkan kelelahan karena hybrid working.

Persentase ini hampir dua kali lipat dibandingkan karyawan yang sepenuhnya bekerja remote.

Juga, kelelahan akibat hybrid working jauh lebih besar daripada karyawan yang 100 persen bekerja di kantor.

Voyles mengatakan, ukuran sampel yang kecil mencerminkan gambaran yang lebih luas.

Ia meyakini, hybrid working adalah gangguan terhadap rutinitas karyawan, yang membuat karyawan kelelahan.

"Rutinitas yang konsisten dan dapat diprediksi bisa membantu seseorang mengatasi perasaan stres dan ketidakpastian, terutama selama pandemi," kata Voyles.

"Hybrid, di sisi lain, membutuhkan perubahan yang sering pada kebiasaan sehari-hari, pekerja harus terus-menerus mengubah keadaan, jadi sulit untuk menemukan rutinitas ketika jadwal kita keluar dan masuk kantor."

Hal serupa disampaikan Gail Kinman, psikolog dan rekan peneliti di British Psychological Society.

"Beralih ke hybrid working berpotensi mengganggu rutinitas rumah dan kerja seseorang."

"Praktik hybrid belum menjadi kebiasaan, sehingga membutuhkan energi, organisasi, dan perencanaan yang lebih besar."

"Kita harus membentuk strategi baru yang tidak akan kita perlukan jika kita sepenuhnya bekerja remote atau bekerja di kantor," tambahnya.

Membawa pekerjaan bolak-balik ke kantor dan ke rumah juga bisa berdampak secara psikologis bagi karyawan.

Satu studi terbaru mengungkap, 20 persen pekerja di Inggris melaporkan kesulitan untuk berhenti bekerja dan merasa selalu aktif.

Hybrid working juga menyiratkan kurangnya kepercayaan dari perusahaan kepada karyawan, dibandingkan bekerja jarak jauh, tambah Kinman.

"Jika atasan menerapkan sistem kerja hybrid tanpa memercayai tenaga kerja, itu membuat pekerja merasakan tekanan untuk menunjukkan kepada bos bahwa mereka tidak mengambil keuntungan dengan bekerja dari rumah."

"Itu bisa menyebabkan karyawan bekerja terlalu banyak dan kelelahan, yang efeknya bisa menghancurkan tetapi butuh waktu lama untuk terlihat."

Baca juga: 4 Tips Mengelola Kecemasan Saat Kembali Bekerja di Kantor

Bagaimana caranya agar hybrid working berhasil?

Beberapa karyawan yang frustrasi dengan sistem kerja hybrid cenderung menginginkan pola kerja yang memungkinkan mereka mengendalikan jadwal mereka.

"Saya pikir hybrid cocok untuk saya, tetapi membagi waktu antara rumah dan tempat kerja terlalu mengganggu," kata Klara.

"Saya melihat kantor mengganggu, kita dapat terganggu kapan saja."

"Semakin lama saya bekerja hybrid, semakin saya merasa itu adalah rintangan tambahan untuk melakukan pekerjaan saya. Mulai dari perjalanan hingga mengetahui saya akan bekerja di tempat lain pada hari berikutnya."

Namun, tidak berarti karyawan harus kembali bekerja di kantor sepenuhnya, atau mencari pekerjaan yang memungkinkan mereka bekerja remote 100 persen.

Hybrid working bisa menjadi sistem yang sempurna bagi pekerja, selama atasan menerapkan sistem tersebut dengan benar.

"Kebijakan hybrid working tidak tepat jika jadwalnya diatur oleh supervisor," jelas Voyles.

"Karyawan memiliki hari kerja yang tidak dapat mereka kendalikan, itu seperti jadwal bekerja di kantor secara penuh, yang kebetulan berada di rumah pekerja dua kali seminggu."

"Hybrid working masih bisa menjadi masa depan di dunia pekerjaan, namun perlu disempurnakan," ungkap Kinman.

Konsep ini bisa berhasil apabila atasan dan karyawan membicarakan bagaimana hybrid working sebaiknya diterapkan.

"Atasan maupun karyawan perlu membuat batasan," kata Voyles.

"Tetapi perlu ada wewenang bagi pekerja untuk mengatur jadwal mereka, fleksibilitas perlu ditentukan oleh individu, bukan bos."

Selain itu, karyawan yang menjalani sistem kerja ini perlu mendapat bantuan dari perusahaan untuk meringankan pergeseran psikologis antara kantor dan rumah.

"Sistem kerja hybrid adalah keadaan pikiran (state of mind)," kata Kinman.

"Ini adalah gagasan di mana kita bergerak dan bekerja dari satu pengaturan ke pengaturan lain."

"Oleh karena itu, harus ada mekanisme untuk memastikan karyawan memiliki alat kerja yang tepat."

Baca juga: Mitos Bekerja Remote yang Tidak Perlu Digubris

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com