Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Produk Olahan Makin Mahal, Gizi Optimal Harus Lebih Rasional

Kompas.com - 30/03/2022, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Lebih ricuh lagi, saat pemerintah mengucurkan ‘bantuan minyak goreng curah’ yang oleh Menperindag tahun 2019 untuk dihapus keberadaannya karena bukan produk sehat untuk dijadikan olahan makanan.

Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah membiarkan rakyatnya mengonsumsi produk tidak sehat demi meredam ricuh akibat kecanduan minyak goreng?

Lalu dari mana minyak goreng curah itu berasal? Sisa olahan makanan kasta sultan? Minyak curah diproduksi dari minyak goreng bekas pakai atau minyak jelantah.

S Ketaren dalam bukunya berjudul Teknologi Minyak dan Lemak Pangan menyebutkan, minyak goreng yang digunakan secara berulang apalagi dengan pemanasan tinggi sangat tidak sehat, karena kandungan asam lemak bebasnya yang teroksidasi, yang akan menyebabkan berbagai macam penyakit dari yang paling sederhana, diare akibat intoleransi lemak (karena nilai cerna lemak turun), hingga pengendapan lemak dalam pembuluh darah dan kanker.

Baca juga: Karbohidrat Olahan, Penyebab Utama Lemak Perut Menurut Pakar

Tidak kejadian besok tentu saja. Dan masyarakat masih tenang-tenang saja. Yang penting gorengannya jalan terus.

Jangankan dengan minyak curah, menggunakan minyak bermerek sekali pakai saja risiko terbentuknya senyawa akrilamida dan polisiklik aromatik hidrokarbon dari pangan yang digoreng sudah membuat masalah.

Anjuran menghindari gorengan menjadi pesimisme kepasrahan nakes,”Ya sudah, kalau nggak bisa dihindari, jangan sering-sering…”. Dan masyarakat hanya tersenyum sambil lalu.

Dapur Indonesia kalau enggak bau gorengan, rasanya enggak afdol. Masyarakat kita sakti, daya tahannya di atas rata-rata – penyakit akibat gorengan dianggap milik bule atau orang asing di luar sana.

Bahkan, bayi-bayi yang baru belajar makan untuk stimulasi oromotor kriuknya dianjurkan untuk mengonsumsi gorengan!

Baca juga: 7 Hal yang Terjadi Jika Terlalu Banyak Mengonsumsi Makanan Olahan

Ironinya, melindungi bangsa ini dari produk olahan sarat dengan serangan, jauh dari pujian. Tak jarang serangannya justru dari pihak yang mau dilindungi.

Ibarat remaja dijaga dari pergaulan ugal-ugalan, malah orang tuanya dituding melanggar kebebasan anak ‘untuk eksplorasi’ – padahal yang dia bilang asyik justru toksik.

Saat ini kita ramai dengan minyak goreng, sebentar lagi akan muncul kelangkaan terigu (akibat pasokan dari Eropa terganggu – ingat, gandum tidak tumbuh di bumi Indonesia?) dan harga gula rafinasi ikutan naik gengsi.

Mengajak publik meningkatkan gizi optimal untuk memilih bahan utuh pangan lokal yang lebih rasional, anehnya menuai nada tinggi emosional: “Oh jadi kita yang masih suka gorengan dan kue dianggap enggak rasional?”

Menarik napas dan mengelus dada saja tidak cukup untuk mengembalikan kewarasan dan kesabaran.

Negri ini sudah terlalu lama tertidur. Terlena dalam buaian industri pangan dan cekikan kecanduan.

Angka-angka mengerikan naiknya penyakit katastropik bukan dianggap sebagai seruan untuk evaluasi, tapi dorongan membuat rumah sakit dan aneka terapi sekaligus (lagi) mendongkrak investasi.

Baca juga: Awas, Terlalu Banyak Konsumsi Makanan Olahan Bisa Sebabkan Kematian Dini

Para ibu yang bayi-bayinya mogok makan, di era ini malah diajari menabur gula dan garam dalam buburnya serta gorengan di kudapannya. Berharap dengan begitu, si bayi makan lahap.

Semakin tutup mulut, semakin banyak garam dan gula disusupkan dengan metode ‘jimpit’ tanpa kejelasan miligram.

Dan anaknya tetap tutup mulut rapat-rapat. Sebab sumber masalahnya masih belum ditangani dengan tepat.

Ibu-ibu muda berburu resep di media sosial yang dibanjiri produk. Mereka antusias membuat banana pancake. Chocochip soft cookies. Es krim dengan whipped cream. Mengolah makanan dari produk olahan.

Padahal, kita punya serabi dengan taburan abon ikan atau kacang hijau yang murah meriah bisa jadi es mambo, ketimbang pusing dengan resep gelato.

Semua terbuat dari bahan utuh, yang ada di pasar. Jauh dari bahan rafinasi apalagi produk ultra proses.

Barangkali kita baru ribut jika lemper atau bingka diklaim negara tetangga jadi kudapan nasional mereka.

Mirip batik yang akhirnya naik harga saat bangsa-bangsa lain menampilkan motif serupa.

Mendidik sebuah generasi untuk tidak amnesia asal usul, merupakan tugas pokok dari estafet kaderisasi.

Tidak bisa melalui pemahaman sepotong-sepotong yang akhirnya hanya sekadar euforia sensasi, lepas dari esensi.

Seperti menghargai nilai sehat dan manfaat ubi ungu, akhirnya kejeblos di taro cheese cake di atas menu. Konyol paling pol.

Baca juga: Sebabkan Obesitas, Mengapa Masih Banyak Orang Menyukai Makanan Olahan?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com