Oleh: Alifia Riski Monika dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Pesatnya perkembangan sosial media beberapa dekade terakhir menumbuhkan sebuah medium baru bagi terciptanya interaksi antar manusia. Facebook, Twitter, dan Instagram merupakan sebagian kecil ruang komunikasi bagi manusia di seluruh dunia, tanpa mengenal batas waktu dan ruang.
Pesatnya pertumbuhan sosial media juga berdampak bagi kesehatan mental penggunanya. Penelitian membuktikan hubungan antara penggunaan media sosial dengan kesehatan mental.
Salah satunya yaitu dampak media komunikasi bagi kaum muda yang kemungkinan merugikan, perlu dicermati secara saksama.
Adiksi terhadap media sosial memunculkan fenomena baru yang dikenal dengan fear of missing out (FOMO). Ini merupakan keadaan di mana kita menginkan untuk terus terhubung dengan internet agar tidak ketinggalan tren.
Rizqa Nailah, Teman Manusia Asa, menceritakan kisahnya menghadapi FOMO dengan segala ketakutan yang ia alami dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk "Ceritaku Saat Merasakan FOMO". FOMO jika di Indonesia juga akrab dikenal dengan kecanduan media sosial.
FOMO dikaitkan dengan penggunaan media sosial yang intensif. Hal ini juga dikaitkan dengan perasaan lebih rendah dari sisi kualitas hidup. Platform media sosial rentan akan rusaknya kesehatan mental karena mempromosikan ekspektasi yang tidak masuk akal.
Melansir Australian Psychology Society, secara umum FOMO menyebabakan rasa cemas dan perasaan rendah diri. Terlebih lagi, FOMO umumnya terjadi pada usia 18 hingga 33 tahun. Survei menemukan bahwa sekitar dua per tiga orang dalam kelompok usia ini mengaku mengalami FOMO secara teratur.
Baca juga: Jam Kerja Padat, Tapi Ingin Tetap Berolahraga? Simak Tips Berikut
Secara histroris, orang selalu peduli tentang posisi sosial mereka. Akan tetapi, munculnya media sosial menjadikan FOMO sebagai masalah besar, terutama bagi kaum muda yang selalu mengikuti unggahan teman-teman mereka.
Ketika anak muda melewatkan acara pesta temannya, atau tidak pergi berlibur dengan keluarga, mereka bisa merasa sedikit kurang keren dari teman-teman yang melakukannya.
Perez dkk. mengatakan, salah satu cara bagi remaja untuk mengatasi FOMO adalah dengan mempraktikkan reframing, yakni latihan mental yang dirancang untuk membantu mereka melihat situasi secara berbeda.
Berikut adalah beberapa cara agar kamu bisa reframing atau membingkai ulang pemikiran tersebut.
Salah satu hal yang dapat dilakukan remaja untuk mengatasi FOMO adalah melacak pikiran dan perasaan negatif dalam jurnal. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengamati seberapa sering mereka merasa rendah diri.
Kuncinya adalah mencatat apa yang dilakukan ketika pemikiran negatif itu muncul. Kemudian, analisis jurnal dan tentukan apakah ada kebiasaan atau pola pikir yang perlu diubah untuk merasa lebih baik?
Rehat sejenak dari media sosial merupakan cara ampuh untuk menghadapi FOMO. Kamu bisa melakukan hal lain sepenuhnya seperti membaca buku, memberi perubahan pada teman, atau membuat kue, dan segala lain yang bisa mendistraksi kamu dari media sosial.
Baca juga: Mengapa Terkadang Sukses Tak Membuat Kita Bahagia?