Minimal di tingkat sekolah menengah, para siswa tahu nilai studi kasus beda dengan uji acak terkendali dan di atas itu semua ada studi meta-analisis. Dan semua jenis studi punya kelebihan dan kelemahan. Termasuk persyaratan ketat.
Sebelum sesumbar hasil, tantangan baru setiap studi tentunya perlu dijabarkan secara tertulis sebagai manuskrip yang diterbitkan dalam bentuk jurnal. Pun tidak semua jurnal punya kesetaraan nilai.
Ada jurnal dengan faktor dampak rendah, ada jurnal yang materi publikasinya tidak melalui tinjauan ahli yang relevan di bidangnya, ada jurnal yang akhirnya termasuk kelompok predator, karena dalam proses penerbitannya tidak melalui ketentuan ilmiah, bahkan punya kepentingan meraup keuntungan sebanyak mungkin tanpa mempedulikan kualitas manuskrip yang dipublikasikan.
Baca juga: Edukasi Gizi Tanpa Amunisi
Publik Indonesia yang awam masih jauh dari pemahaman di atas. Akhirnya sains yang mestinya bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan bukti, melenceng tinggal bergantung pada testimoni.
Betapa mengerikannya, apabila kelompok elit kita masih tidak (mau) tahu perbedaan antara keduanya.
Sehingga kita jatuh dalam layanan kesehatan yang kualitasnya tergantung dari promosi mulut-ke-mulut, penilaian subjektif yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara objektif dan ke depannya merusak tatanan keilmuan itu sendiri.
Istilah ‘obat kimia’ kini semakin gencar di media sosial kasak kusuk yang mendeskreditkan intervensi penatalaksanaan suatu penyakit secara medis.
Tak jarang ibu-ibu menanyakan di pesan langsung media sosial,”Dok, adakah ‘cara alami’ mengobati bayi saya yang sudah batuk dan sesak seminggu?”
Padahal batuk pilek anaknya sudah membuat berat badan merosot hampir sekilo karena mogok makan.
Itu pun masih ditanya lebih lanjut,”Vitamin apa yang bikin anak saya makan lahap lagi?” – sementara sang anak, buat napas saja lewat mulut, tidak mampu mengeluarkan ingus apalagi dahak. Dan lebih parahnya lagi, sang ayah masih merokok di rumah.
Pendidikan keilmuan di negri kita masih penuh tanda tanya besar. Apalagi bicara soal tanggung jawab masa depan.
Belum lagi soal etika hlo ya. Masyarakat yang cenderung impulsif reaktif kerap malah marah apabila cara-cara berobatnya yang ‘klasik-simptomatik’ diusik.
Baca juga: Evaluasi Gaya Klinisi di Ranah Edukasi
Suatu teknik dianggap sakti, apabila gejala dan keluhan lenyap seketika. Sebaliknya, seorang dokter dianggap bodoh jika terlalu ‘rempong’ menelusuri akar masalah yang merepotkan pasien sebab gaya hidupnya perlu berubah.
Itulah mengapa pemberdayaan yang justru mengulik kemampuan orang untuk hidup lebih baik dan bertanggungjawab terhadap dirinya sulit diterapkan di Indonesia.
Menjadi tuan atas tubuhnya sendiri bukan cara berpikir masyarakat kita. Kebutuhan berobat dan menyerahkan diri secara total – yang penting asal ‘sembuh’ – sudah jadi tradisi antar generasi.
Padahal istilah ‘sembuh’ nya pasien dan dokter kerap punya makna beda.
Selama publik kita masih bertukar resep obat demi berhemat, selama keluarga kita masih getol meneruskan pesan-pesan berantai tentang terapi alami ramuan berkhasiat sapu jagad, selama komunitas kita belum bisa membedakan sains dari pseudosains, testimoni akan menjadi pijakan penuh jebakan tanpa studi berbasis bukti.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.