Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Saatnya Benahi, Sehat Sesuai Studi Berbasis Bukti atau Jurus Testimoni?

Kompas.com - 28/04/2022, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bicara soal kesehatan di Indonesia, perlu memiliki kesabaran ekstra dan pemahaman kultur tingkat dewa.

Keragaman budaya, kepercayaan, hingga derajat literasi yang tidak terkait edukasi membuat kita mau tak mau menelusuri jalan panjang sambil terseok-seok menuju pemahaman makna ilmu pengetahuan.

Boleh percaya boleh tidak, di sebagian besar komunitas tradisional masih meyakini pemberian makan bayi selepas maghrib menyebabkan penyakit cacingan.

Begitu banyak ibu-ibu muda dengan literasi digital canggih menanyakan hal ini kepada saya di media sosial.

Belum lagi soal ramai pertanyaan soal asi basi (kok bisa ya?) yang ‘katanya’ membuat anak diare – padahal disusukan langsung dari payudara ibunya.

Baca juga: 3 Kebiasaan Sehat ini Bantu Turunkan Risiko Kanker Secara Drastis

Usut punya usut ternyata sang mertua yang bernafsu ingin membuat cucunya gembul dan menukar asi dengan susu formula.

Banyak pertanyaan ‘tidak masuk akal’ di ranah kesehatan yang mencerminkan betapa masih jauhnya kita dari cita-cita sehat bagi semua orang di tahun 2000 – sebagaimana dicanangkan sebagai deklarasi Alma Ata sejak 1978.

Dua puluh dua tahun telah lewat dari target. Dan kita masih ‘begini-begini saja’.

Alma Ata adalah kesepakatan bersama 140 negara (termasuk Indonesia) yang disponsori WHO dan Unicef yang menyatakan, bahwa pelayanan kesehatan primer (dasar) merupakan strategi utama untuk pencapaian cita-cita ‘kesehatan untuk semua orang’ sebagai bentuk perwujudan hak azasi manusia.

Pelaksanaan program pola hidup bersih dan sehat (PHBS) pun mengemuka saat pandemi memaksa orang hidup lebih memperhatikan faktor hygiene dan sanitasi.

Ujian literasi muncul ketika semua orang di seluruh dunia berlomba mencari jurus jitu melawan virus yang mematikan itu.

Mulai dari India yang menggunakan ‘terapi kotoran sapi’ hingga Indonesia yang heboh jualan empon-empon dan minyak kayu putih. ‘

Yang mana tidak ada satu pun yang terbukti mampu mencegah apalagi mengobati. Tapi, tetap dicari, dipercayai dan dipakai. Hingga level komunitas ‘tingkat tinggi’.

Begitu pula beberapa tahun silam heboh akar tanaman bajakah yang belum apa-apa diklaim pelajar SMA sebagai obat kanker – yang barangkali frasa ‘potensial sebagai obat’ lupa digarisbawahi.

Hingga akhirnya BPOM memutuskan untuk melakukan studi lebih lanjut, karena ternyata ada 200 jenis tanaman bajakah dan diantaranya justru mempunyai sifat beracun.

Tapi coba ketik kata ‘bajakah’ di mesin pencari internet: iklan bombastis menampilkan janji menumpas kanker dan aneka benjolan dalam hitungan hari. Wow. Bahkan, menegaskan telah lolos uji BPOM. Entah apanya yang diuji.

Di tengah masyarakat yang mencari keajaiban instan, berjualan apa pun dijamin meraup cuan. Tidak ada sanksi atas janji penuh ilusi.

Atas nama inovasi, mulai dari level siswa siswi hingga perguruan tinggi, segala jenis studi diangkat penuh puja puji.

Tak ada yang salah dengan memberi motivasi, tapi segala sesuatu mestinya ditempatkan sesuai proporsi.

Patut disayangkan istilah ‘hirarki penelitian’ tidak diperkenalkan sejak dini, tentu dengan bahasa sederhana.

Baca juga: Diklaim Ampuh Sembuhkan Kanker, Apa Kandungan Tanaman Bajakah?

 

Minimal di tingkat sekolah menengah, para siswa tahu nilai studi kasus beda dengan uji acak terkendali dan di atas itu semua ada studi meta-analisis. Dan semua jenis studi punya kelebihan dan kelemahan. Termasuk persyaratan ketat.

Sebelum sesumbar hasil, tantangan baru setiap studi tentunya perlu dijabarkan secara tertulis sebagai manuskrip yang diterbitkan dalam bentuk jurnal. Pun tidak semua jurnal punya kesetaraan nilai.

Ada jurnal dengan faktor dampak rendah, ada jurnal yang materi publikasinya tidak melalui tinjauan ahli yang relevan di bidangnya, ada jurnal yang akhirnya termasuk kelompok predator, karena dalam proses penerbitannya tidak melalui ketentuan ilmiah, bahkan punya kepentingan meraup keuntungan sebanyak mungkin tanpa mempedulikan kualitas manuskrip yang dipublikasikan.

Baca juga: Edukasi Gizi Tanpa Amunisi

Publik Indonesia yang awam masih jauh dari pemahaman di atas. Akhirnya sains yang mestinya bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan bukti, melenceng tinggal bergantung pada testimoni.

Betapa mengerikannya, apabila kelompok elit kita masih tidak (mau) tahu perbedaan antara keduanya.

Sehingga kita jatuh dalam layanan kesehatan yang kualitasnya tergantung dari promosi mulut-ke-mulut, penilaian subjektif yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara objektif dan ke depannya merusak tatanan keilmuan itu sendiri.

Istilah ‘obat kimia’ kini semakin gencar di media sosial kasak kusuk yang mendeskreditkan intervensi penatalaksanaan suatu penyakit secara medis.

Tak jarang ibu-ibu menanyakan di pesan langsung media sosial,”Dok, adakah ‘cara alami’ mengobati bayi saya yang sudah batuk dan sesak seminggu?”

Padahal batuk pilek anaknya sudah membuat berat badan merosot hampir sekilo karena mogok makan.

Itu pun masih ditanya lebih lanjut,”Vitamin apa yang bikin anak saya makan lahap lagi?” – sementara sang anak, buat napas saja lewat mulut, tidak mampu mengeluarkan ingus apalagi dahak. Dan lebih parahnya lagi, sang ayah masih merokok di rumah.

Pendidikan keilmuan di negri kita masih penuh tanda tanya besar. Apalagi bicara soal tanggung jawab masa depan.

Belum lagi soal etika hlo ya. Masyarakat yang cenderung impulsif reaktif kerap malah marah apabila cara-cara berobatnya yang ‘klasik-simptomatik’ diusik.

Baca juga: Evaluasi Gaya Klinisi di Ranah Edukasi

Suatu teknik dianggap sakti, apabila gejala dan keluhan lenyap seketika. Sebaliknya, seorang dokter dianggap bodoh jika terlalu ‘rempong’ menelusuri akar masalah yang merepotkan pasien sebab gaya hidupnya perlu berubah.

Itulah mengapa pemberdayaan yang justru mengulik kemampuan orang untuk hidup lebih baik dan bertanggungjawab terhadap dirinya sulit diterapkan di Indonesia.

Menjadi tuan atas tubuhnya sendiri bukan cara berpikir masyarakat kita. Kebutuhan berobat dan menyerahkan diri secara total – yang penting asal ‘sembuh’ – sudah jadi tradisi antar generasi.

Padahal istilah ‘sembuh’ nya pasien dan dokter kerap punya makna beda.

Selama publik kita masih bertukar resep obat demi berhemat, selama keluarga kita masih getol meneruskan pesan-pesan berantai tentang terapi alami ramuan berkhasiat sapu jagad, selama komunitas kita belum bisa membedakan sains dari pseudosains, testimoni akan menjadi pijakan penuh jebakan tanpa studi berbasis bukti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com