Oleh: Nika Halida Hashina dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Rasa sakit hati karena perlakuan tidak menyenangkan orang lain mungkin membuat kita sedih. Namun, merasa bersalah karena belum bisa memaafkan orang lain juga berpengaruh besar pada kesehatan mental kita.
Pada tahap ini, memaafkan diperlukan untuk membebaskan perasaan, namun bukan berarti melupakan. Itu juga bukan berarti menerima, membenarkan, atau mengabaikan suatu peristiwa.
Memaafkan dapat dikatakan sebagai melepaskan dendam yang merupakan penyakit hati. Pelaku mungkin tidak pantas mendapatkan permintaan maaf, tetapi kita harus bisa berdamai dengan diri sendiri.
Dalam salah satu drama audio siniar Semua Bisa Cantik bertajuk “Cukupkah dengan Niat Memaafkan? Pt. 2” di Spotify. Sosok Ratna terpaksa harus belajar untuk memaafkan suaminya yang berselingkuh demi melepaskan diri dari beban di hatinya.
Meskipun sulit, memaafkan bisa memudahkan kita untuk mengurangi stres. Hal ini juga dapat mengurangi segala emosi negatif. Menjadi pribadi yang sulit memaafkan dapat merusak suasana hati. Seperti ?munculnya peristiwa balas dendam, permusuhan, kemarahan, dan kesedihan yang mengambil alih sebagian pikiran. Hal ini juga meningkatkan tekanan darah yang membuat kita berisiko terkena serangan jantung.
Tidak mau memaafkan juga memicu terjadinya penyakit mental berkepanjangan, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma. Sebuah studi fMRI oleh peneliti Italia, Dr. Pietro Pietrini, menunjukkan bahwa kemarahan dan rasa dendam dapat menghambat pemikiran rasional.
Sebaliknya, saat kita berada dalam proses memaafkan, ia mampu mengaktifkan area otak yang terkait dengan pemecahan masalah, moralitas, empati, dan kontrol kognitif emosi. Bahkan, penelitian oleh Stanford Medicine menunjukkan bahwa memaafkan bisa meningkatkan suasana hati dan optimisme.
Baca juga: Makna Memaafkan untuk Menyembuhkan Luka Batin
Dengan tidak memaafkan, kita akan lebih fokus pada pelaku daripada menghadapi apa yang sudah terjadi. Kita akan terjebak dan selalu merasa menjadi korban dibandingkan fokus untuk terus maju.
Dalam proses memaafkan, kita tentu akan merasa skeptis; bertanya-tanya apakah kita benar-benar bisa memaafkan. Jika pun kata memaafkan sudah terucap, belum tentu kita ikhlas.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.