Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Drs. I Ketut  Suweca, M.Si
PNS dan Dosen Ilmu Komunikasi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Pencinta dunia literasi

Katakan Selamat Tinggal kepada Overthinking

Kompas.com - 26/05/2022, 10:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAKAH Anda memikirkan demikian banyak hal pada suatu waktu? Apakah Anda sering kecewa dan menggerutu terhadap perilaku orang lain atau keadaan yang tidak sesuai dengan pandangan Anda?

Dan, apakah Anda dirisaukan oleh segala sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan Anda?

Jika demikian halnya, maka bukan tidak mungkin Anda sudah terpapar virus overthinking alias berpikir berlebihan.

Dua ilustrasi kasus

Mari kita lihat dua ilustrasi berikut ini. Pertama, misalnya Anda seorang pegawai. Sebagai pegawai yang berdedikasi, Anda sudah bekerja keras, memberikan waktu dan tenaga secara optimal untuk mengerjakan tugas-tugas kantor.

Terkadang Anda harus bekerja lembur untuk menangani pekerjaan yang sifatnya mendesak. Anda berharap akan mendapatkan penghargaan atau promosi dari pimpinan jika ada kesempatan.

Akan tetapi pada kenyataannya, yang mendapatkan promosi justru orang lain yang tiada lain adalah teman sekerja Anda.

Anda pun sangat kecewa dan mengatakan pimpinan tidak adil dan Anda pun mulai malas bekerja.

Contoh lain lagi. Misalkan Anda seorang mahasiswa. Anda sedang bersiap-siap hendak berangkat ke kampus untuk mengikuti ujian. Segala sesuatunya sudah Anda persiapkan dan akan berangkat dengan segera.

Akan tetapi, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Dan, hujan ini membuat Anda menggerutu dan marah-marah tak karuan bahkan menyalahkan hujan yang menurut Anda sudah mengganggu rencana Anda.

Pendekatan Stoisisme

Nah, berangkat dari kedua kasus di atas, mari kita lihat duduk persoalanannya lebih jauh, lalu mencoba membahas dari kacamata yang berbeda, bukan cara pandang sebagai pegawai dan mahasiswa di atas.

Kita akan mendekati kedua persoalan ini dengan pendekatan dikotomi kendali. Apakah yang dimaksud dengan dikotomi kendali?

Dikotomi kendali adalah ajaran filsuf aliran Stosisime yang mulai berkembang di Yunani pada abad ketiga sebelum Masehi dan kemudian merambah ke Romawi hingga ke berbagai belahan dunia.

Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain Zeno, Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius.

Dikotomi kendali yang merupakan bagian terpenting dari filosofi Stoisisme atau disebut juga dengan Stoikisme adalah kemampuan untuk membedakan mana hal-hal yang bisa dikendalikan dan mana yang tidak.

Dengan kata lain, filsafat ini memberikan panduan bagaimana memahami apa yang bisa dikontrol dan apa yang uncontrollable.

Dijelaskan, dalam kehidupan ini ada hal-hal yang bisa kita kendalikan atau kontrol, ada juga hal-hal yang berada di luar kendali atau di luar kontrol.

Yang perlu kita pikirkan dan usahakan hanyalah segala sesuatu yang ada dalam kendali kita saja. Jangan memikirkan atau merisaukan semua hal yang di luar kendali atau kontrol kita.

Beranjak dari kasus pegawai yang merasa sudah bekerja keras tapi tak mendapatkan promosi seperti diilustrasikan di atas, aspek dikotomi kendali ini bisa membedahnya.

Hal yang bisa dikontrol atau dikendalikan oleh pegawai tersebut adalah cara pandang terhadap permasalahan dan usahanya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.

Tetapi, bekerja dengan baik saja tidak cukup. Ada unsur subjektivitas penilaian terhadapnya oleh pimpinan.

Hal inilah yang tidak berada dalam kendali si pegawai. Penilaian pimpinan menjadi bagian yang uncontrollable bagi yang bersangkutan.

Oleh karena itu, seharusnya dia tidak perlu merasa begitu kecewa atau merisaukan hal yang berada di luar kontrolnya. Ia hanya bisa bekerja dengan baik dan mungkin melakukan komunikasi yang dibutuhkan.

Sisanya tergantung kepada pimpinan atau pihak lain yang turut menentukan. Sang pegawai tidak perlu merasa sakit hati dengan cara memahami dan menyadari bahwa itu merupakan keputusan pimpinan yang berada di luar kendalinya. Barangkali ada baiknya dia mawas diri.

Selanjutnya, pada kasus yang menimpa mahasiswa yang merasa dihadang oleh hujan, seyogianya sang mahasiswa tidak perlu merasa sedih atau marah hanya lantaran hujan turun.

Mengapa? Karena, hujan yang turun secara tiba-tiba itu berada di luar kendalinya. Ia tak bisa menyetop hujan, bukan?

Ia hanya bisa bersiasat bagaimana caranya tiba di kampus tepat waktu tanpa harus basah kuyup. Mungkin ia akan mengenakan jas hujan atau memilih menyetir mobil ke kampus.

Menghindari overthinking

Belajar dari dua kasus tersebut-- dengan pendekatan stoisisme, kita bisa memahami bahwa ada bagian yang bisa kita usahakan dan kendalikan, ada juga bagian yang tidak bisa kita kendalikan yang berasal dari unsur luar diri.

Kesimpulannya, jangan merisaukan semua yang berasal dari luar kontrol diri, apakah itu orang lain, keadaan, situasi, dan sebagainya. Pikirkan dan berfokuslah hanya pada hal-hal yang bisa dikendalikan atau diusahakan.

Ini sama sekali bukan sikap berpasrah diri. Anda tetap dapat mengusahakan apa yang bisa Anda lakukan dengan sebaik-baiknya.

Tapi, sepanjang ada situasi atau pihak lain yang terlibat di dalamnya -- termasuk dan terutama Tuhan, maka semua yang bersifat eksternal itu berada di luar kontrol Anda.

Oleh karena itu, mulai saat ini, mari hanya berfokus pada apa yang bisa kita usahakan dan kendalikan. Sisanya, serahkan saja pada takdir.

Dengan begitu, kita tak perlu berpikir berlebihan karena bisa membuat stres bahkan depresi. Katakan selamat tinggal kepada overthinking.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com