Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Pengamat masalah sosial

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Benarkah Pasangan Harus Romantis? 8 Resep Alain de Botton

Kompas.com - 01/06/2022, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Teman juga jarang yang mau mengatakannya pada kita. “Ngapain harus mengatakan itu pada kita, lebih baik duduk bersama dalam suasana yang indah, ngobrol asyik bersama, tanpa merusakaan suasana dengan kita.”

Sebenarnya di antara orang yang tahu banyak tentang ‘diri kita’ adalah “mantan” kita. Tetapi sayang banyak yang tidak mau menceritakannya pada kita, dan memilih untuk bilang, “maaf, saya perlu waktu untuk hidup sendiri saja...” dan ngacir meninggalkan kita, tanpa sempat memberi masukan mengenai kelemahan kita.

Itu sebabnya kita akan tertinggal, tak lagi punya hubungan (relationship) sambil tetap ‘tidak sadar” bahwa kita sendiri punya banyak masalah dalam diri kita, yakni kekurangan kita itu (yang tadi dianalogikan dengan istilah “crazy”).

Seringkali saat duduk berdua ‘si dia’, masing-masing seolah ingin menunjukkan bahwa saya ini seorang yang sangat special dan sempurna. Ada semacam egoism, merasa paling benar sendiri (“self-righteousness”).

Padahal, self-righteousness adalah musuh utama bagi keberhasilan sebuah hubungan. Masuk akal memang, karena self-righteousness biasanya muncul karena pada dasarnya orang menganggap bahwa dirinya adalah ‘orang baik’.

Jarang ada yang ketika duduk berdua saling bertukar informasi dengan mengatakan, ini bagian “kegilaan” (kekurangan) saya, dan apa kekurangan (kegilaan) kamu?

Karena semua orang pada dasarnya punya unsur “kegilaan” tadi, seharusnya ini saling dikemukakan oleh masing-masing pasangan itu. Tetapi itu jarang dilakukan, karena perkara itu dianggap tidak romantis.

Akan sangat membantu bila masing-masing mengatakan, “saya ini anak Adam, dan sebagaimana lazimnya semua manusia adalah tempatnya dosa dan salah, ini kekurangan saya...” (lalu sebutkan kekurangan itu secara humble, secara tawadhu).

Itu satu di antara dasar utama untuk menjalin sebuah hubungan yang kuat, yang successful. Jadi jangan mendasarkan keputusan pada instinct.

Memang ada yang menganggap bahwa instinct itu ‘datang dari ‘atas’ (dari surga), tapi hal itu bisa merusakkan hubungan.

2. Masalah lain yang sering terjadi, orang sering ‘berbohong’ pada diri sendiri atau pasangannya, atas nama ‘cinta’, sehingga, misalnya, tidak bisa melihat pada arah yang ‘benar’.

Ibarat garpu, yang satu menunjukkan pada cinta, yang satu lagi mengarahkan pada kebenaran seutuhnya (total honesty).

Walakin orang sering memilih sisi yang berujung pada ‘cinta’, karena kita tidak ingin menyakiti partner kita; namun masalahnya suatu saat hal itu bisa menjadi masalah, problematik.

Pandangan romanticism akan mendukung orang untuk berbohong, demi mempertahankan hubungannya dengan ‘si dia’ – atas nama cinta (in the name of love).

Padahal seharusnya orang harus jujur, dan bersikap apa adanya. Being who you are should be something that you spare with anyone you love. You must edit yourself (menunjukkan diri sebagaimana adanya, Anda harus mengkoreksi diri sendiri) – sebab itu sebenarnya bukan sebuah pengkhiatan terhadap (melawan) cinta, tetapi sebuah kesetiaan (loyalty) pada cinta.

Tetapi lagi-lagi, konsep romanticism tidak menganjurkan kita bersikap terbuka seperti itu.

3. Kesalahan romanticism yang lain adalah karena ia tidak bicara tentang hal-hal yang praktis, yang sehari-hari dilakukan.

Jarang sekali ada novel atau kisah cinta dulu yang bicara mengenai, misalnya, mesin cuci, menjemur pakaian, mencuci piring dan gelas sesudah makan, mengganti popok bayi, dan sebagainya – karena perbincangan soal itu dianggap tidak romantik.

Kisah-kisah cinta itu seringkali bicara mengenai istana, pangeran menunggang kuda, kebun-kebun indah, atau puteri cantik memetik bunga.

Repotnya, banyak pemikiran dan bayangan tentang cinta datang (berasal) dari buku-buku novel atau kisah cinta seperti itu yang kita baca.

Banyak kerusakan hubungan karena orang berpikir semuanya akan mudah dan indah saja, padahal seharusnya bersiap untuk memasuki masa ketika banyak hal akan sulit, dan tidak indah.

Sebab, kalau kita hanya beranggapan semuanya indah, mudah, maka dalam waktu singkat, bahkan pada tiga bulan pertama, atau paling lama tiga tahun pertama, hubungan akan renggang atau bahkan hancur.

4. Banyak juga kerusakan karena orang tidak mau menceritakan dirinya pada pasangannya, mengapa?

Karena Anda beranggapan bahwa, “seharusnya jika dia mencintai saya, maka dia harus sudah tahu hal itu” – meskipun Anda tidak pernah mau mengatakannya.

Ketika ini terjadi, Anda mungkin mengunci pintu, mengeram diri di kamar, dan tidak mau berkata-kata, apalagi menjelaskan situasinya.

Itu karena dalam ideologi romanticism orang akan bangga menceritakan pada kawannya, bahwa dia dan pasangannya ‘jarang bicara, karena kami saling mengerti satu sama lain’.

Di sini karena romanticism menyandarkan pada feelings (orang harus tahu secara instinct) pada pasangannya, dan bukan reasons (sehingga tidak perlu bicara, atau menceritakannya).

Jadi seperti ada jurang yang “menganga” antara ‘feeling’ pada satu kutub dan ‘reasons’ (atau logika) di kutup yang lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com