Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Pengamat masalah sosial

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Benarkah Pasangan Harus Romantis? 8 Resep Alain de Botton

Kompas.com - 01/06/2022, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Seharusnya orang sadar bahwa pasangan jiwa (soul-mate) Anda tidak bisa membaca jiwa Anda (‘your soul’) – tidak bisa memahami apa yang ada dalam hati (jiwa) Anda.

Juga jangan berharap dia bisa memahaminya. Oleh karena itu, kita harus “membongkar” apa yang ada dalam diri (jiwa) kepada partner kita.

5. Perkara lain yang penting adalah soal kritik (criticism). Sering kali pada awal hubungan, partner seolah akan menerima semua kekurangan yang ada.

Kalau ada cewek yang bilang, “rasanya malu kalau saya datang ke pesta dengan baju kuno ini,” akan ditanggapi oleh cowoknya dengan mengatakan, “Oh, sama sekali tidak, baju itu bagus, dan jangan kuatir, saya akan bangga mengenalkan kamu pada teman-teman saya...”

Hal itu pada awalnya menjadikan cinta tampak indah. Tapi itu tidak akan berlanjut demikian.

Ketika sarapan nantinya, seorang isteri mungkin mengkritik suaminya yang menimbulkan suara saat mengunyah makanan, dan bilang, “saya seperti menghadapi sapi. Caramu mengunyah makanan dengan suara itu bagaikan seekor sapi.”

Lalu, “stop itu...” dan terjadilah perseteruan. Si suami akan marah, dan bilang, “Belum pernah ada yang mengatakan seperti itu pada saya. Orangtua saya, kawan-kawan, semuanya tidak pernah bilang saya mengunyah kayak sapi. Ibu saya tidak pernah mengkritik saya, mengapa kamu selalu berusaha mengkritik saya?"

Banyak yang beranggapan bahwa, "to love is not to criticize.” Jika kamu mencintai saya, kamu tidak akan mengkritik saya – itulah pemikiran romanticism.

Love is not an endorsement of everything another person. Cinta bukanlah berarti menyetujui (memuji) – atau meng-endorse -- segala sesuatu yang ada pada pasangan.

Cinta memang ingin melihat kesempurnaan, nilai, mutu dan keindahan pada pasangan, tetapi seharusnya bisa juga memiliki rasa kasihan, simpati, sabar atau pengertian pada kekurangan yang dimiliki pasangan itu.

6. Lover and the loved (pecinta dan yang dicintai) seolah berada dalam wadah pendidikan, ketika terjadi rotasi yang terus menerus antara “guru dan murid” secara berkesinambungan.

Seolah sedang ada dalam sebuah lembaga pendidikan, seharusnya salah seorang membimbing dan mengajari pasangannya, agar menjadikan dirinya sesempurna mungkin.

Maka, bukanlah sebuah pengkhianatan pada cinta bila guru memberitahu muridnya dalam sebuah kelas.

Seorang guru seharusnya ‘menegur’ muridnya secara calm, tenang, tidak menghardik dan marah.

Yang terjadi pada peristiwa sarapan tadi, seolah sang isteri merasa bahwa, jika suaminya tidak berubah, berarti dia “menghancurkan masa depannya” karena hidup bersama suami yang seperti itu.

Itu juga akibat keyakinan pada romanticism, karena berharap semuanya sempurna, semuanya perfect.

Mempermalukan bukanlah akar pendidikan. Seharusnya kritik disampaikan dengan mencampur 99 persen madu dan 1 persen kepahitan, secara calm, tanpa suara keras.

“Saya tidak percaya bahwa cinta adalah perasaan,” kata Alain, “Cinta adalah skill (kepandaian) yang harus kita pelajari – love is a skill we need to learn often through patients, mistakes, etc.”

7. Perlakukan seorang partner Anda itu anak usia tiga tahun, the partner as a child theory, saat mana Anda memperlakukannya dengan penuh kelemah lembutan, kedermawanan, simpati dan pengertian (generosity).

Maka, ketika “anak” itu membuang makanannya dari meja, Anda tidak akan bilang, “Apa maksudmu, merusakkan hidup saya?”

Anda akan berusaha melihat ada masalah apa yang sedang dihadapinya, mungkin dia sedang dimarahi bos di kantor, mungkin giginya sedang sakit, dsb.

8. Ingat bahwa semua kita broken, sulit, terluka (wounded), punya banyak kelemahan.

Masalahnya banyak dari kita tidak bisa melihat kelemahan-kelemahan itu, tapi problemnya adalah kita semua tampak normal, kita tampak bukan kayak anak umur tiga tahun, tapi sebagai “orang dewasa,” padahal ingin diperlakukan seperti anak umur tiga tahun.

Contohnya, ketika ada orang patah tangan yang mengenakan gips yang dipanggulnya, maka orang-orang akan membantu membukakan pintu, menarikkan kursi baginya, dsb.

Walhasil, tampaknya kita harus selalu bersikap tasamuh (mudah menerima dan memaafkan) pada pasangan.

Go easy with the wounded person; bersikaplah tenang dan mudah (memaklumi) pada semua yang “terluka” itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com