Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/06/2022, 05:43 WIB
Gading Perkasa,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ketika membicarakan karakteristik seseorang yang bahagia, pikiran kita langsung tertuju pada orang yang ramah, ceria, dan energik.

Beberapa karakteristik itulah yang biasanya dapat kita temukan pada orang ekstrovert.

Rata-rata orang ekstrovert cenderung senang mencari pengalaman baru dan tampak memiliki aura yang lebih positif.

Bahkan di budaya masyarakat Barat, orang dengan kepribadian ekstrovert dapat memeroleh manfaat dalam kehidupan mereka.

Carl Jung, psikiater dan psikoanalis asal Swiss menuliskan, orang ekstrovert mengelola sikap mereka saat berhubungan dengan orang lain dan menarik perhatian akibat pengaruh mereka terhadap orang lain.

Orang ekstrovert akan berusaha menggali seperti apa dunia orang lain dengan cara-cara verbal yang tegas.

Hal itu tentu berbeda dari orang introvert yang cenderung memilih untuk lebih konservatif, menyembunyikan pikiran dan perasaan demi menjaga hubungan interpersonal, serta mengelola energi psikologis mereka.

Baca juga: Tipe Introvert atau Ekstrovert Dilihat dari Kebiasaan di Media Sosial

Pengaruh budaya Barat memaksa seseorang untuk menjadi lebih ekstrovert

Peneliti Ashley Fulmer dari University of Maryland beserta tim merilis studi yang membahas seputar hipotesis kecocokan budaya pribadi atau "person-culture match hypothesis" pada tahun 2010.

Dari studi itu ditemukan, ketika kepribadian individu cocok dengan kepribadian umum orang lain dalam suatu budaya, maka budaya akan memperkuat efek positif kepribadian pada harga diri dan kesejahteraan subjektif.

Tim peneliti mempelajari lebih dari 7.000 orang dari 28 komunitas.

Terungkap, hubungan antara ekstroversi dan kesejahteraan subjektif menjadi jauh lebih kuat di saat tingkat ekstroversi seseorang sesuai dengan perkiraan tingkat ekstroversi dalam budaya mereka.

Sebanyak empat studi dilakukan oleh Nathan Hudson dan Brent Roberts dari University of Illinois di Urbana-Champaign, AS untuk mengetahui tujuan individu mengubah kepribadian mereka.

Hasilnya, di Barat, sebanyak 87 persen individu secara terbuka menyatakan tujuan mereka untuk menjadi lebih ekstrovert.

Baca juga: Dari 15 Ciri Introvert Ini, Adakah yang Mirip Dengan Kepribadianmu?

Kisah seorang kakek

Dalam sebuah artikel yang dimuat di Psychology Today, terapis pernikahan dan keluarga Blake Griffin Edwards menuliskan kakeknya DaddyTroy bukanlah orang yang senang berbicara.

"Kisah yang diceritakan sepotong-sepotong, seperti teka-teki."

Suatu hari, sang kakek memberi tahu Jason, saudara laki-laki Edwards yang merupakan seorang pendeta.

Kepada Jason, DaddyTroy mengatakan, Tuhan menghargai kesederhanaan dan kerahasiaan.

"Lebih baik mengatakan apa yang perlu kita katakan dan duduk, dan jika kita berdoa, lebih baik berdoa di tempat rahasia daripada di depan umum."

Terlepas dari hal itu, DaddyTroy senang tertawa dan berkumpul bersama keluarganya. Dia merasa dicintai, dan puas.

Penerimaan diri

"Saya merasa mirip seperti DaddyTroy, dan saya senang akan hal itu," tulis Edwards.

"Terkadang saya merasa khawatir pada sisi introvert saya dan cara orang lain memandang saya. Namun ketika mengingat DaddyTroy, tidak ada pemikiran apa pun selain cinta saya untuknya."

"Itu membantu saya menyadari, jika dia benar-benar baik-baik saja, mungkin saya juga baik-baik saja," lanjutnya.

Psikolog kognitif dan penulis Scott Barry Kaufman sudah melihat banyak studi yang membahas terkait introversi (orientasi ke dalam diri) dan sampai pada satu kesimpulan.

"Kunci utama agar menjadi orang introvert yang bahagia adalah penerimaan diri," jelas Kaufman.

"Artinya, tidak memaksakan diri untuk bertindak di luar karakter, atau menganggap diri sendiri sebagai penyimpangan dari kepribadian yang ideal."

Peneliti Rodney Lawn bersama rekan penelitinya melihat, orang introvert yang hidup di budaya Barat mengalami tekanan terus-menerus agar dapat menyesuaikan diri dengan norma perilaku orang ekstrovert.

Orang introvert juga mendapatkan stigma negatif akibat tidak ada konsistensi antara bagian dari kepribadian mereka dengan norma dan ekspektasi yang berlaku di lingkungan sosial mereka.

"Seiring waktu, kurangnya kecocokan antara pribadi dan lingkungannya dapat memiliki efek buruk pada kesejahteraan introvert," tulis Lawn.

"Introvert di Barat mungkin lebih otentik, dan mereka bisa meningkatkan kesejahteraan apabila mereka mampu mengubah keyakinan dan menjadi lebih menerima introversi mereka."

Peneliti Barbara Barcaccia bersama timnya mengutip tinjauan literatur yang membuktikan, trait-mindfulness (keadaan penuh perhatian dan sadar terhadap apa yang terjadi) terkait dengan kesejahteraan emosional.

Sebaliknya, menghakimi pikiran dan perasaan seseorang dikaitkan dengan maladjustment --ketidakmampuan seseorang menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan-- yang lebih tinggi.

Berdasarkan analisis mereka, diketahui sikap menghakimi pikiran dan perasaan seseorang adalah penanda dari depresi dan kecemasan.

Baca juga: Introvert dan Ingin Cari Teman Baru? Begini Caranya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com