Oleh: Fauzi Ramadhan dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Childfree atau menikah tanpa anak sempat menjadi buah bibir yang ramai diperbincangkan di media sosial.
Dilansir dari Cambridge Dictionary, istilah ini merujuk pada orang atau pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak atau keturunan.
Di Indonesia, keputusan yang bersifat personal ini acap kali dipandang tabu dan sensitif karena dianggap mendobrak budaya serta agama.
Meskipun demikian, keputusan ini tetap dijalankan oleh banyak pasangan muda, seperti YouTuber Gita Savitri Devi bersama dengan suaminya.
Lantas, apa yang menjadi alasan sebenarnya dari pelaku childfree ini? Mengapa banyak pasangan muda memilih keputusan ini? Selain itu, apakah ada perspektif psikologis dari childfree?
Bersama dr. Dharmawan A. Purnama, seorang PhD. Psychiatrist, psikiater dari FKUI, dan Doktor Filsafat STF Driyarkara, kita akan diajak untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam episode siniar (podcast) Anyaman Jiwa bertajuk “Tren Childfree di Kalangan Pasangan Muda”.
“Orang memilih childfree itu ada banyak alasan, bukan hanya masalah emosional atau trauma masa lalu, tetapi (juga) ada masalah kondisi fisik dan kesehatan pasangan,” ungkap Dharmawan.
“Kemudian juga pada pemeriksaan kesehatan pranikah ada penyakit bawaan yang kemungkinannya serius untuk muncul bila mempunyai anak (sehingga mereka memilih childfree),” tambahnya.
Baca juga: Dampak Besar Perceraian pada Anak
Beragamnya alasan seseorang atau pasangan memutuskan untuk childfree ini membuat kita tidak bisa melihat fenomena ini dari sudut pandang negatifnya saja.
Bahkan, menurut Dharmawan, beberapa alasan orang memilih childfree—seperti yang sudah disebutkan di atas—sesungguhnya dilakukan demi meminimalisasi masalah-masalah serius yang kelak timbul.
Sebagai seorang psikiater, Dharmawan turut mengurusi fenomena childfree ini. Sebab, beberapa alasan seseorang melakukan hal ini diakibatkan persoalan psikologis.
“Perlu sebuah konseling yang mendalam, misalnya (ketika) di keluarga ada yang mengalami gangguan mental serius yang menurun, seperti skizofrenia, retardasi mental, dan autisme. Ini perlu dikonselingkan supaya pasangan siap atau tidak (dalam memutuskan childfree ini),” tutur pria yang menamatkan pendidikan Kedokteran Umum pada 2002 ini.
Namun, ketika alasan childfree diakibatkan akibat masalah emosional atau trauma masa lalu, Dharmawan menyarankan untuk membereskan masalah tersebut terlebih dahulu.
Hal ini dilakukan agar pelaku childfree benar-benar matang dan sadar atas pilihannya.