Di sinilah konflik mencuat satu per satu. Namun saya tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.
Anak-anak Pak Domu dan Mak Domu disekolahkan hingga jenjang tinggi dan di luar daerah mereka. Mereka bergaul dengan keragaman suku dan budaya, opsi yang lebih banyak.
Kata Prof. Renald Kasali, anak yang keluar dari sarangnya telah menjadi warga global (global citizen).
Anak-anak yang telah beranjak dewasa menggunakan hak pilihnya atas hidup. Bagi mereka, pulang permanen ke sarang adalah opsional.
Bagaimana dengan orangtua, apakah masih akan mengharuskan mereka pulang permanen disertai keharusan-keharusan lainnya?
Sesungguhnya setiap keluarga memiliki preferensi masing-masing. Kunci utama terletak pada hubungan yang baik disertai kesepakatan yang baik dan ekologis bagi semua pihak.
Nasihat dari Opung Domu kepada anak lelakinya —Pak Domu—yang sedang kewalahan menghadapi ketidaksepahaman dengan anak-anaknya sangatlah menancap.
Begini sepenggal pernyataannya, “Kau yang sekolahkan anak-anakmu itu jauh-jauh, tinggi-tinggi. Kalau mereka jadi pintar, jago berpikir, jangan kau marah. Kan kau yang bikin!”
Waktunya akan tiba, sarang yang tadinya ramai dengan “cicit cuit” anak-anak menjadi sepi dan terasa lebih hampa.
Bagaimana mengatasi sindrom sarang kosong ini? Saya mengambil referensi dari Sherri Gordon dalam tulisannya “How to Re-Feather Your Empty Nest” dan pengetahuan Neuro-Semantics saya.
1. Menerima. Peluk kenyataan, menangislah, akui perasaan rindu. Cari cara-cara untuk bertemu melalui berbagai media.
2. Buat sebanyak-banyaknya daftar pemaknaan tentang ‘kepergian’ anak-anak kita. Pilihlah beberapa yang paling memberdayakan.
Misalnya, kepergian anak-anak adalah untuk membuat mereka menjadi orang yang bahagia dan saya bahagia telah membuat anak-anak menemukan jalan bahagianya.
Kepergian anak-anak adalah sebuah siklus yang perlu dilalui dan saya perlu melewati proses di siklus ini dengan baik.
Kepergian anak-anak berarti tanda bahwa mereka telah dewasa dan berdaya, dan lain-lain.