Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Kompas.com - 30/06/2022, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Anak-anak kita sudah tidak paham lagi kudapan bernama ‘semar mendem’ atau lemper, yang dalam waktu singkat mereka lebih fasih menyebut onigiri.

Bahkan pecel atau karedok berbumbu kacang sederhana, kedengaran begitu kampungan dibanding aneka salad dibanjur dressing sarat gula dan senyawa imbuhan.

Begitu pula kecipir, tespong, kenikir, daun ubi, pakis, langsat, matoa tidak dipandang sebelah mata, sebab generasi sekarang lebih kenal kale, blueberry, goji berry, chia seed yang promosinya sebagai ‘super food’ mengatasi logika kelaziman hidup sehat seimbang.

Panen raya yang semestinya membuat petani bersuka cita dan produk pangan lokal membanjiri pasar tanpa calo kartel, faktanya amat bertolak belakang.

Petani kita masih jauh dari kemajuan cara dan metodologi bercocok tanam, kebanggaan mereka akan hasil panen masih sebatas jumlah rupiah yang belum mengejar kebutuhan keluarga.

Baca juga: Literasi Gizi Masa Kini: Kita Makin Berdaya atau Diperdaya?

Bahkan keluarga petani, tidak menikmati sehatnya panenan dari tanah pertiwi, sebab mereka justru terdorong ingin makan seperti orang kota yang sudah lama kehilangan esensi.

Jika sepiring mi goreng atau semangkuk oatmeal lebih dihargai sebagai menu sarapan, tentu ubi jalar atau jagung akhirnya cuma buat pangan ternak.

Empat aspek ketahanan pangan yaitu ketersediaan, kestabilan tersedianya pangan, akses dan pemanfaatan pangan amat memengaruhi pangan keluarga Indonesia.

Apabila keempat hal tersebut lebih banyak dipenuhi produk impor ketimbang panen lokal, habislah sudah kedaulatan pangan kita.

Di saat yang sama runtuh pula karakter, kepribadian bangsa yang mestinya tecermin dari asupan pangan keluarga.

Yang paling konyol dan menyeramkan adalah apabila suatu hari pangan lokal kita justru lebih dihargai bangsa asing, dan menjadi penyumbang meningkatnya derajat kesehatan mereka, karena bahan utuh yang masih kaya nutrisi dikonsumsi sebagai kemewahan.

Sementara kita bangga dengan produk kemasan – yang ironisnya justru dibela oleh ‘pakar’ yang hanya melihat kepentingan di satu sisi, mengambil jurnal referensi dari luar negri, termakan bias yang sengaja dibenturkan dengan (lagi-lagi) masalah ekonomi.

Sumber pangan negri terpuruk miskin studi, yang membela pangan lokal dituding memberi edukasi ngadi-ngadi.

Baca juga: Produk Olahan Makin Mahal, Gizi Optimal Harus Lebih Rasional

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com