Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Kompas.com - 30/06/2022, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Akhir bulan Juni diperingati sebagai hari keluarga nasional dan kurang lebih seminggu sebelumnya, bangsa Indonesia merayakan 50 tahun hari krida pertanian, tepatnya pada tanggal 21 Juni – yang hanya segelintir orang tertentu yang tahu.

Padahal, hari krida pertanian sengaja dipilih, karena waktu itu posisi matahari yang memberi energi kehidupan bagi semua makhuk hidup berada pada posisi 23 ½° Lintang Utara, saat proses produksi tanaman berakhir dan akan dimulai untuk persiapan produksi selanjutnya, sehingga para petani memanjatkan syukur dengan istilah panen raya.

Begitu pula 21 Juni dianggap permulaan musim dan masa baik untuk kembali menanam sesuai Pranata Mangsa sebagai penanggalan aktivitas pertanian yang berkaitan dengan hujan, angin, serangga, penyakit unggas, dan lain sebagainya.

Baca juga: Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?

Apa hubungannya dengan hari keluarga nasional? Memang tidak ada.

Tulisan ini dibuat hanya sebagai tinjauan kritis, tentang bagaimana keluarga-keluarga kita pada saat ini hidup dengan pangan yang kian bergeser dari marwah pangan nasional.

Sebut saja, mulai dari sarapan: apa yang jadi menu anak-anak dan kaum muda Indonesia? Aneka produk olahan terigu menjadi pilihan praktis, padahal terigu alias gandum tidak tumbuh di bumi Nusantara.

Padahal istilah ‘praktis’ pun menjadi tanda tanya besar saat merawat hidup sebagai asuhan kodrat disejajarkan dengan cara pikir teknokrat yang paradigmanya memang mengacu pada 5 jargon mekanik: tepat, cepat, akurat, efisen, dan tentunya praktis.

Bicara soal kearifan bercocok tanam menurut musim pun, sudah lama diwarnai keserakahan manusia untuk bisa menikmati hasil panen di luar pranata musim.

Sebutlah durian, kini sepanjang tahun tersedia, memenuhi kerakusan konsumen dan keserakahan ambil untung.

Dan ketika produksi bablas melimpah ruah, olahan durian pun marak dijagokan sebagai ‘inovasi’. Tidak cukup dibuat dodol atau lempok, kini ‘westernisasi durian’ membuat buah eksotis ini malah menjadi jajanan tidak sehat.

Celakanya oleh generasi sekarang disebut anti-mainstream. Memang apa yang salah dengan mainstream?

Melihat bagaimana ibu-ibu masa kini memberi makan anak-anaknya, kita harus mulai prihatin. Ditambah literasi nutrisi yang jauh dari kata cukup.

Kiblat resep-resep asing yang justru sudah ditinggalkan orang dari mana makanan itu berasal, dan telah dianggap pangan tidak sehat, sekarang merambah keluarga-keluarga muda kita yang hilang arah.

Kini aneka makanan bertabur keju – yang bukan kategori keju sungguhan, melainkan produk prosesan yang murah - disukai hingga di pelosok, diberi label bombastis sebagai ‘sumber pangan’ berkalsium, ‘kaya nutrisi’, dan seakan mengangkat derajat makanan sederhana menjadi ‘keren’.

Jagung rebus bertabur keju, mi instan berbaur keju, bahkan minuman teh kocok diberi krim berkeju.

Baca juga: Tips Cerdas Pilih Produk Pangan, demi Hindari Penyakit Tak Menular

 

Anak-anak kita sudah tidak paham lagi kudapan bernama ‘semar mendem’ atau lemper, yang dalam waktu singkat mereka lebih fasih menyebut onigiri.

Bahkan pecel atau karedok berbumbu kacang sederhana, kedengaran begitu kampungan dibanding aneka salad dibanjur dressing sarat gula dan senyawa imbuhan.

Begitu pula kecipir, tespong, kenikir, daun ubi, pakis, langsat, matoa tidak dipandang sebelah mata, sebab generasi sekarang lebih kenal kale, blueberry, goji berry, chia seed yang promosinya sebagai ‘super food’ mengatasi logika kelaziman hidup sehat seimbang.

Panen raya yang semestinya membuat petani bersuka cita dan produk pangan lokal membanjiri pasar tanpa calo kartel, faktanya amat bertolak belakang.

Petani kita masih jauh dari kemajuan cara dan metodologi bercocok tanam, kebanggaan mereka akan hasil panen masih sebatas jumlah rupiah yang belum mengejar kebutuhan keluarga.

Baca juga: Literasi Gizi Masa Kini: Kita Makin Berdaya atau Diperdaya?

Bahkan keluarga petani, tidak menikmati sehatnya panenan dari tanah pertiwi, sebab mereka justru terdorong ingin makan seperti orang kota yang sudah lama kehilangan esensi.

Jika sepiring mi goreng atau semangkuk oatmeal lebih dihargai sebagai menu sarapan, tentu ubi jalar atau jagung akhirnya cuma buat pangan ternak.

Empat aspek ketahanan pangan yaitu ketersediaan, kestabilan tersedianya pangan, akses dan pemanfaatan pangan amat memengaruhi pangan keluarga Indonesia.

Apabila keempat hal tersebut lebih banyak dipenuhi produk impor ketimbang panen lokal, habislah sudah kedaulatan pangan kita.

Di saat yang sama runtuh pula karakter, kepribadian bangsa yang mestinya tecermin dari asupan pangan keluarga.

Yang paling konyol dan menyeramkan adalah apabila suatu hari pangan lokal kita justru lebih dihargai bangsa asing, dan menjadi penyumbang meningkatnya derajat kesehatan mereka, karena bahan utuh yang masih kaya nutrisi dikonsumsi sebagai kemewahan.

Sementara kita bangga dengan produk kemasan – yang ironisnya justru dibela oleh ‘pakar’ yang hanya melihat kepentingan di satu sisi, mengambil jurnal referensi dari luar negri, termakan bias yang sengaja dibenturkan dengan (lagi-lagi) masalah ekonomi.

Sumber pangan negri terpuruk miskin studi, yang membela pangan lokal dituding memberi edukasi ngadi-ngadi.

Baca juga: Produk Olahan Makin Mahal, Gizi Optimal Harus Lebih Rasional

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com