Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Kesehatan mental adalah salah satu topik yang terus dibicarakan oleh banyak orang. Pasalnya, menurut Riskesdas Kemenkes pada 2018, 20 persen dari 250 juta jiwa populasi Indonesia berpotensi mengalami gangguan mental.
Oleh karena itu, kita memerlukan dukungan dari orang-orang terdekat, seperti keluarga dan temat, agar bisa ditangani yang tepat. Sebab, jika keliru dan telat menanganinya, dampak dari gangguan mental bisa berjangka panjang.
Agar seluruh anggota keluarga, terlebih orangtua, memahami topik ini, dengarkan siniar (podcast) Obrolan Meja Makan di Spotify yang bekerja sama dengan Good Enough Parents. Di sana, akan ada informasi menarik seputar parenting dengan dua narasumber, yaitu Damar Wahyu Wijayanti dan Pritta Tyas, selaku Co-Founder Good Enough Parents.
Lantas, sebenarnya seberapa penting peran keluarga terhadap kesehatan mental kita?
Baca juga: Pentingnya Peran Keluarga Sembuhkan Masalah Kejiwaan
Bagi sebagian orang, keluarga bisa menjadi “rumah”. Sebaliknya, beberapa orang menganggapnya sebagai penyebab gangguan mental. Ini disebabkan karena keluarga memiliki peran yang amat besar dalam membentuk mental seseorang.
Ketika memiliki keluarga yang harmonis, mereka akan lebih responsif dan mendukung saat anak memiliki masalah. Orangtua bahkan tak segan memberikan dukungan emosional dan ekonomi yang bisa berdampak positif untuk pemulihan.
Sementara itu, keluarga dengan hubungan yang kurang harmonis bisa membuat tingkat stres anak lebih tinggi. Ini disebabkan karena tak ada dukungan yang didapatkan secara penuh. Alih-alih demikian, keluarga justru menambah beban. Terlebih, jika mereka turut menyerang anak secara fisik dan verbal.
Keluarga adalah orang-orang yang berada sangat dekat dengan anak. Mau tak mau, anak selalu bertemu dengan mereka setiap harinya. Oleh karena itu, apabila keluarga tak memberikan ruang aman dan dukungan yang tepat, proses pemulihan juga jadi kurang optimal.
Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP) orangtua yang sedang atau pernah mengalami gangguan mental memiliki risiko tinggi menurunkannya pada anak-anak mereka.
Penurunan ini biasanya terjadi lewat gen. Penyakit mental yang berpotensi diturunkan adalah bipolar, gangguan kecemasan, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), skizofrenia, alkoholisme atau penyalahgunaan obat-obatan, dan depresi.
Tak hanya itu, penelitian oleh Behara dkk. (2017) mengungkapkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga tak harmonis sangat berpotensi mengalami ADHD dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga harmonis.
Selain karena faktor genetik, gangguan mental dalam keluarga bisa terjadi karena pola asuh yang keliru. Orangtua yang kerap memberikan hukuman fisik dan verbal–di atas batas wajar–bisa membuat anak-anak trauma hingga depresi.
Misalnya, ketika orangtua memarahi anaknya karena gagal dalam melakukan sesuatu. Alih-alih membantunya dengan suportif, anak justru tertekan apabila terus-menerus diperlakukan seperti itu. Hal ini bisa diperparah jika ditambah dengan hukuman fisik, seperti pukulan atau tamparan.
Saat dewasa, anak-anak mengingat momen itu sebagai pengalaman traumatis. Dampaknya pun mereka jadi lebih sensitif, mudah takut, dan menutup diri. Selain itu, tak menutup kemungkinan juga anak bisa membalas perlakuan orangtua di masa lalu dengan lebih kejam.
Baca juga: 5 Cara Lindungi Kesehatan Mental Keluarga Selama Pandemi Covid-19