Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?

Kompas.com - 31/07/2022, 19:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Perawakan gembulita seorang bayi masih jadi ikon anak sehat hingga hari ini. Bukan bayi proporsional yang tumbuh optimal.

Dengan segala cara akhirnya para ibu berlomba ‘memompa’ bayi-bayinya dengan susu pengganti yang alih-alih menyehatkan, tapi malah menjatuhkan anak dalam kondisi intoleransi laktosa, mencret berkepanjangan (belum lagi masalah kebersihan botol, dot dan cara pembuatan yang tidak sesuai aturan) – hingga akhirnya orangtua terjebak harus membeli jenis susu lain yang lebih mahal.

Kader-kader posyandu masih banyak yang tidak fasih menjelaskan grafik tumbuh kembang, bahkan menerapkan cara yang salah menimbang bayi, apalagi mengukur panjang/ tinggi badan anak.

Baca juga: 6 Cara Alami agar Punya Stok ASI Melimpah seperti Nagita Slavina

Menimbang berat badan ibu sambil menggendong anak dikurangi dengan berat badan ibu sendiri, masih menjadi metoda ‘praktis’ yang jauh dari benar.

Begitu pula menggunakan meteran baju, mengukur panjang badan anak dari kepala melewati muka perut hingga ujung kaki anak. Terlalu mengenaskan.

Belum lagi penghakiman status stunting, hanya karena tinggi badan anak tidak sesuai kurva pertumbuhan. Padahal, tidak ditanya apakah ada riwayat gangguan gizi kronik sejak anak dikandung hingga usia 2 tahun.

Konseling menyusui? Lebih parah lagi. Di beberapa daerah posyandu justru jadi ajang promosi susu formula.

Ibu-ibu dengan kesulitan menyusui atau bayi dengan berat badan tidak optimal, boro-boro dirujuk ke konselor laktasi, malah didorong membeli aneka ASI booster atau sekalian susu formula yang awalnya dibagikan gratis dan akhirnya jadi kebutuhan utama.

Ketidaktahuan awam, bahwa dalam 72 jam pasca persalinan ASI belum diproduksi melimpah menjadi pintu gerbang promosi pengganti ASI, yang bukan hanya didukung oknum nakes, tapi juga para mertua dan ibu sepuh yang merasa ibu baru ini ‘kurang ASInya’.

Bayi menangis selalu diidentikkan dengan lapar. Untuk mencegah ini semua, proses menyusui harus menjadi ‘bahan mata pelajaran’ seorang calon ibu, yang dipahami semua orang yang terlibat dalam pengasuhan anak, termasuk suami dan calon nenek.

Begitu pula saat bayi sudah lebih berkembang aspek sensorik dan motoriknya, kerap di usia 4-5 bulan mulai ‘gagal fokus’ di saat menyusu.

Mendengar suara-suara, ia menengok dan menyusu sebentar-sebentar. Alhasil ASI akhir yang kaya akan lemak tidak terkonsumsi dan berat badan bayi mulai stagnan.

Baca juga: ASI dan Menjaga Jarak Kehamilan, Cara Efektif Cegah Stunting pada Anak

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com