Mengutip slogan hari kemerdekaan RI ke 77, di hari ini saya menulis di negeri orang berjarak 10 ribu kilometer lebih dari tanah air, tepatnya di Budapest, Hungaria.
Masih terdengar orang batuk berdahak atau membuang ingus yang membuat pikiran ‘parno’.
Baik pendatang maupun masyarakat kota ini sudah tidak peduli lagi soal masker, jaga jarak atau bebersih diri.
Membuat saya semakin ketat menggunakan masker dan kian rajin cuci tangan sekali pun diundang makan malam.
Pulang kecolongan ‘membawa oleh-oleh’ virus jenis mutasi terbaru merupakan mimpi buruk.
Baca juga: Pandemi Berkepanjangan: Derita Kesehatan Kelompok Rentan
Kurang lebih saya bisa memahami, mengapa Indonesia bertahan terhadap serangan aneka varian virus pandemi dan kita bisa siap-siap ‘gas pol’ untuk bangkit dari pengalaman menyakitkan yang merenggut nyawa dan dunia usaha.
Walaupun masih ada segelintir orang yang ‘nyleneh’, bahkan nyinyir terhadap upaya pencegahan termasuk vaksinasi, upaya nakes yang bersinergi dengan kerja keras pemerintah perlu diacungi jempol tinggi-tinggi.
Skenario bangsa Indonesia menanggulangi pandemi sebenarnya bisa dijadikan ‘template’ alias pola atau format umum cara kerja, dalam berbagai program nasional mengatasi masalah. Termasuk masalah gizi masyarakat.
Kegentingan dan urgensi mengatasi masalah menjadi gerbang utama menuju keberhasilan itu. Semua pihak bergerak cepat tanpa menunda untuk menjalankan 4 rangkaian layanan kesehatan sekaligus: upaya preventif dan promotif, kuratif, hingga rehabilitatif.
Kita sebagai saksi hidup bagaimana tindakan pencegahan melibatkan seluruh bangsa, dimulai dengan slogan 3M: menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun – bahkan sampai detil 6 tahap cuci tangan 20 detik diajarkan ke sekolah-sekolah dan kantor pemerintah serta masyarakat luas.
Walaupun, butuh 2 tahun untuk akhirnya kita paham bagaimana memakai masker dengan benar -- akibat contoh simpang siur dari petinggi negara hingga selebrita.
Baca juga: Saatnya Benahi, Sehat Sesuai Studi Berbasis Bukti atau Jurus Testimoni?
Tak kalah hebohnya upaya promotif, publik mulai menyadari pentingnya paparan matahari sebagai sumber vitamin D, serta konsumsi sayur dan buah untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
Bahkan, semua media berlomba menampilkan aneka talkshow bermutu dari para pakar untuk membuat publik semakin melek, tentang pentingnya lesehatan, terutama memerangi komorbid yang memperburuk kondisi mereka yang terlanjur terinfeksi Covid 19.
Perjuangan mati-matian para nakes sebagai garda terdepan, menjadi aset yang paling berharga saat para pasien tumbang membutuhkan upaya kuratif, pengobatan yang selalu mengikuti perkembangan terbaru, sementara aneka penyakit lain masih harus ditangani pada saat bersamaan.
Rumah sakit dengan tenda darurat dan langkanya oksigen, merupakan ingatan mengerikan bagi siapa pun di pertengahan tahun lalu.
Upaya rehabilitatif walaupun tidak terlalu populer terdengar, masih menjadi keprihatinan bersama bagi mereka yang terdampak efek jangka panjang infeksi, yang melibatkan gangguan aneka fungsi organ hingga risiko berbagai penyakit di masa depan, termasuk masalah kognitif dan diabetes – yang hingga kini masih menjadi kajian serius. Jadi, ini bukanlah ‘flu biasa’.
Uraian di atas, barangkali menjadi kaleidoskop singkat pandemi di tanah air yang oleh sebagian orang dianggap ‘sudah usai’, walaupun WHO belum secara resmi mendeklarasikan pandemi telah tuntas.
Baca juga: Produk Olahan Makin Mahal, Gizi Optimal Harus Lebih Rasional