Selama dua tahun kita melihat bersama, betapa keuangan negara habis-habisan, perekonomian berbagai sektor terpukul, dan finansial keluarga tumbang.
Kita semua mati-matian berjuang, ibarat menahan atap rumah yang reyot dihajar hujan, sementara di dalam rumah masih ada anak-anak yang masih tumbuh, perlu makan, dan belajar.
Bukanlah hal yang berlebihan jika di momen peringatan kemerdekaan ke 77, seluruh elemen bangsa ini dengan haru dapat menyaksikan keberhasilan kita bersama menyelamatkan yang bertahan dan mendorong yang sudah berhasil menciptakan kemajuan.
Baca juga: Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara
Sementara komentar nyinyir masih bermunculan. Biarlah. Bisa jadi bagian dari senandung sengau yang selalu ada, karena kenyataan tidak selamanya harus sesuai dengan harapan.
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, kunci ada di sinergi. Dan pemerintah telah sukses menciptakan sinergi itu.
Kolaborasi berimbang yang sejalan dengan panduan. Dipuji WHO, dijadikan contoh yang membanggakan. Karena pemahaman promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang memang sesuai dengan penanganan pandeminya.
Mimpi saya, penanganan masalah gizi juga bisa mengikuti jejak yang sama. Upaya promotif preventif yang tidak dikacaukan dengan tindakan kuratif.
Menyusui eksklusif dan diteruskan hingga 2 tahun atau lebih, MPASI berbahan lokal tapi memenuhi kaidah kualitas dan kuantitas menjadi edukasi publik yang tidak dibayang-bayangi kepentingan sepihak yang mengaburkan literasi edukasi gizi.
Tenaga kesehatan yang kompeten, mestinya memahami kedudukan intervensi medis termasuk pemberian aneka susu buatan yang tidak boleh disejajarkan sebagai pengganti ASI.
Begitu pula saat anak sehat belum tercebur dalam kurva gizi buruk, semestinya posyandu menjadi garda terdepan mengajarkan pemberian makanan tambahan berbahan lokal yang bermutu, bukan membagi ‘kantong oleh-oleh’ produk kemasan sarat gula selepas anak imunisasi.
Baca juga: Literasi Gizi Masa Kini: Kita Makin Berdaya atau Diperdaya?