SEBAGAI manusia pasti kita sering merasa kecewa, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.
Kita pasti juga pernah membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain dan ujung-ujungnya kita sering merasa tidak bahagia karena menyamakan diri kita dengan validasi orang lain adalah suatu hal yang mustahil.
Pada dasarnya setiap manusia selalu menginginkan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya.
Namun sebagai mahluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain, konflik internal maupun eksternal sulit terhindarkan dan kerap mendistraksi subjek untuk bahagia dan damai.
Untuk mengatasi hal di atas memang memerlukan waktu, cara pandang bijaksana, dan refleksi mendalam.
Oleh karena itu tulisan ini akan memperkenalkan aliran filsafat yang dikenal dengan Stoikisme yang diharapkan dapat membantu kita memaknai hidup lebih positif.
Dikutip dari Oxford English Dictionary, Stoikisme (Stoicism) memiliki arti ketegangan (austerity), tekanan perasaan, dan ketabahan yang semuanya merupakan karakteristik dari sikap stoik dalam kehidupan.
Dalam buku berjudul Stoicism, John Sellars (2006) mengatakan bahwa Stoikisme merujuk pada sekolah filsafat yang didirikan oleh Zeno of Citium, seorang filsuf di periode Helenistik, sekitar 300 BC di Pasar Agora, Athena.
Saat itu, setelah banyak belajar dari para filsuf besar, Zeno berkumpul bersama murid-muridnya dalam sebuah obrolan di sebuah pendopo yang dikenal dengan istilah Stoa Poikile, tiang-tiang penopang di pendopo yang dicat warna-warni dan kemudian dikenal sebagai Stoikisme.
Aliran Stoikisme telah berkembang selama lima abad terkahir melalui deskripsi beberapa penulis klasik seperti Cicero, Seneca, dan Plutarch.
Aliran ini juga dikenal luas di era Romawi dan memengaruhi beberapa filsuf/pemikir besar seperti Montaigne, Kant, Nietzsche, dan Deluze.
Dalam konteks masa kini, Stoikisme bisa dikatakan menarik banyak perhatian masyarakat dunia karena ajaran Stoik dipraktikan oleh banyak kalangan masyarakat khususnya generasi muda hingga petinggi perusahaan raksasa seperti Google dan Apple.
Nellie Bowles di New York Times, menuliskan bahwa para petinggi Silicon Valley melakukan hal-hal yang tidak wajar dalam keseharian mereka, seperti duduk di kursi yang tidak nyaman, meditasi dalam waktu yang lama, bahkan mandi di pagi hari yang sangat dingin.
Mereka mencoba tidak terganggu (apatheia) dari hal-hal eksternal dan uniknya, praktik ini bahkan sudah menjadi semacam budaya dan gaya hidup mereka.
Rutinitas kerja dan hidup harian yang penuh tuntutan membuat mereka terlena. Oleh karena itu mereka melakukan itu semua supaya terhindar dari stres yang berpotensi membuat mereka tidak bahagia.