Menurut Sellars (2006), Stoikisme berpandangan bahwa manusia adalah mahluk yang rasional (thoroughly rational animal) dan emosi yang destruktif sebenarnya adalah dampak dari kesalahan dalam penalaran (reasoning) manusia terhadap hal-hal yang dialaminya.
Sementara itu dalam pemaknaan yang lebih kontemporer, Stoikisme kerap diasosiasikan dengan ketenangan tidak emosional dan kesabaran dalam menghadapi kesengsaraan.
A. Setyo Wibowo, 2019, dalam buku Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme menuliskan bahwa menurut Stoikisme manusia bisa mendapatkan kebahagiaan dengan menerima apa yang terjadi kepada dirinya, namun dengan tidak membiarkan emosi negatif mengendalikan dirinya dan semua hal yang ada di dunia ini merupakan rencana alam semesta.
Kebahagiaan, kesedihan, perjumpaan, perpisahan, kematian, kehilangan, kemenangan, dan kekalahan adalah hal yang sangat lumrah terjadi dalam hidup dan pasti dialami oleh semua insan yang hidup.
Dalam Stoikisme, manusia perlu sadar bahwa ia, hewan, tumbuhan dan benda-benda lainnya adalah bagian sekaligus kesatuan dari alam semesta. Oleh karena itu manusia juga harus mampu menyelaraskan diri dengan alam semesta untuk mencapai kebahagiaan.
Salah satu filsuf Stoikisme, Epictetus dalam tulisannya yang berjudul The Enchiridion yang diterjemahkan oleh Elizabeth Carter menuliskan:
“Some things are things are in our control and others are not. Things in our control are opinion, pursuit, desire, aversion, and, in a word, whatever are our own actions. Things not in our control are body, property, reputation, command, and, in one word, whatever are not our own actions."
Pernyataan Epictetus di atas mengajarkan kita untuk berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan atau faktor internal seperti opini, keinginan, hasrat, keengganan terhadap sesuatu, serta segala hal yang merupakan tindakan kita.
Karena hal-hal yang berada dalam kendali kita bersifat merdeka, tidak mengikat dan tidak terhambat oleh karenanya kita diberi kuasa untuk menciptakan definisi kebahagian versi kita (you are the director of your own life) selama kita tidak merugikan orang lain.
Sementara itu, pandangan ini menyarankan kita untuk tidak banyak membuang waktu dan energi kita terhadap hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan atau faktor eksternal seperti tubuh, properti, reputasi, pendapat orang lain, perintah, dan segala hal yang bukan tindakan kita.
Menurut Epictetus, segala hal di luar kendali manusia pada dasarnya bersifat lemah, bagaikan budak (slavish), koersif, dan milik orang lain.
Dikotomi kendali ini sangat penting untuk dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama terkait dengan penerimaan diri (self-acceptance) secara logis dan ikhlas.
Praktisnya, kita seharusnya sudah tidak perlu mempermasalahkan lagi hal-hal yang terkait dengan tubuh kita dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa kulit saya hitam dan rambut saya keriting? Kenapa saya berjenis kelamin perempuan? Dan lain sebagainya.
Atau kita juga kadang sering marah terhadap hal-hal yang tidak mungkin kita kendalikan, seperti terhambat ke kantor untuk urusan penting karena banjir, harus kehilangan rumah karena gempa bumi, dan lain-lain.
Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya sudah selesai dan tidak perlu dipertanyakan kembali karena itu berada di luar kendali kita dan sudah menjadi kehendak alam semesta.