Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Kepemimpinan Keluarga sebagai Sekolah Terbaik Pemimpin Ideal

Kompas.com - 30/08/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Anak yang berada di lingkungan yang positif akan berkembang dengan baik. Sebagai contoh, Masni (2016) mengemukakan bahwa anak yang hidup di keluarga yang demokratis akan tumbuh menjadi pribadi yang mau menerima kritik, menghargai orang lain, lebih percaya diri, dan bertanggung jawan terhadap kehidupan sosialnya.

Saputro & Palan (2017) menegaskan bahwa lingkungan sosial sangat berpengaruh bagi anak karena menjadi tempat interaksi antara anak dan orangtua. Lingkungan yang baik dapat memberikan kebebasan bagi anak untuk mengembangkan dirinya.

Sebaliknya, apabila keluarganya otoriter, anak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya dan selalu muncul perasaan takut salah.

Ada banyak contoh kecil yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan sikap positif ke anak. Misalnya seperti mendorong mereka mengemukakan pendapat dan mengutarakan apa yang anak mau.

Ataupun contoh lain misalnya memberikan kepercayaan pada anak untuk menjaga mainan mereka dan tidak langsung menyalahkan jika mainannya rusak juga akan membantu perkembangan anak. Hal-hal yang tersebut akan memicu kepercayaan diri anak.

Jadi, sebisa mungkin dan dalam kondisi apapun, orangtua harus mampu memberikan iklim yang positif. Supaya mereka bisa berkembang optimal.

Dampak afeksi dan ketiadaan afeksi

Lingkungan memang punya peran penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sikap orangtua terhadap anaknya dan kondisi keluarga. Dua hal ini menurut saya berpengaruh sangat besar terhadap tumbuh kembang anak menjadi seorang pemimpin.

Misalnya, orangtua menghadapi situasi ekonomi yang sulit ataupun bertengkar di hadapan anaknya akan memengaruhi psikologis anak. Dikutip dari situs Halodoc, pertengkaran yang terjadi antara orangtua membuat anaknya menjadi tidak percaya diri, hubungan anak dan orangtua memburuk, dan membuat anak stres dan cemas.

Di Inggris misalnya, 1 dari 18 anak yang hidup dengan kedua orangtuanya mengalami tekanan emosional. Situasi ini tentu memengaruhi anak, terutama secara psikologis. Selain itu, ada hubungan antara kesehatan mental orangtua dengan perkembangan anak.

Mensah & Kiernan (2010) menemukan bahwa anak akan meraih pencapaian yang lebih rendah dalam banyak aspek, mulai dari literasi dan bahasa, serta matematika. Perkembangan pribadi (sosial dan emosional juga rendah).

Di Indonesia sendiri, terutama di masa pandemi, para Ibu menjadi stres dan mudah marah. Survei dari aplikasi Teman Bumil di tahun 2020, yang berhasil menjaring 1.192 responden, menemukan bahwa 56 persen ibu mengalami stres, cemas, sulit tidur, dan mudah marah.

Empat kondisi psikologis tersebut tentu akan memengaruhi hubungan ibu dan anak. Di samping kondisi kesehatan mental, orangtua banyak yang tidak sadar jika sikap mereka berpengaruh terhadap anak.

Menurut psikolog anak Rosliana Verauli, dikutip dari Detik.com, anak sangat terpengaruh dengan situasi orangtuanya. Apabila orangtua stres dan bersitegang, anak juga akan mengikuti.

Kondisi orangtua yang seperti itu tentu membuat mereka tidak bisa menyalurkan cinta yang dibutuhkan oleh seorang anak. Anak justru akan kurang afeksi, yang membuat anak berkembang ke arah negatif. Anak jadi berkutat ke masalah-masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan, sehingga anak tidak bisa berfokus pada masa depannya.

Ada banyak penelitian jangka panjang yang telah menunjukkan bahwa afeksi memegang peran penting bagi tumbuh kembang anak. Setidaknya penulis bisa memberikan tiga penelitian.

Penelitan pertama dilakukan di tahun 2010 oleh Sekolah Medis Universitas Duke. Studi ini ternyata dilakukan selama 30 tahun, dengan mengamati perkembangan dari 500 bayi hingga mencapai umur 30-an.

Peneliti dari Universitas Duke meneliti bagaimana orangtua berinteraksi dengan anaknya: 84 persen dengan tingkat afeksi normal, 6 persen tingkat afeksi tinggi, dan 10 persen dengan tingkat afeksi rendah.

Peneliti Universitas Duke kemudian menemui mereka kembali di tahun 2010. Peneliti berkesimpulan bahwa anak yang diberikan afeksi tinggi (6 persen) berkembang lebih baik daripada yang lain. Anak menjadi tidak stres dan depresi, tidak menunjukkan adanya permusuhan atau interaksi sosial yang kurang menyenangkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com