KOMPAS.com - Istilah quiet quitting belakangan meramaikan media sosial karena dianggap sebagai fenomena anak muda di dunia profesional saat ini.
Quiet quitting artinya melakukan pekerjaan seperlunya sesuai dengan yang diminta atasan maupun kantor, tidak lebih.
Perilaku ini termasuk tetap masuk kantor dengan tepat waktu dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh atasan namun semuanya dalam batas minimal.
Tidak ada kemungkinan untuk lembur atau memeriksa pekerjaan di luar jam kantor atau komitmen lebih lainnya.
Artinya, tidak ada upaya untuk membuat kinerja kita di kantor menjadi istimewa atau berlebihan karena 'kesetian' pada pekerjaan.
Fenomena quiet quitting ini dianggap sebagai perlawanan atas Hustle Culture yakni pola kerja berlebihan untuk mencapai kesuksesan.
Baca juga: Kenali Hustle Culture, Gila Kerja yang Bisa Berujung Kematian
Fenomena quiet quitting muncul karena perubahan pola pikir yang dialami para pekerja muda selama pandemi Covid-19.
Hal ini khususnya dipengaruhi dengan dengan perubahan budaya tempat kerja termasuk dengan adanya sistem Work From Home (WFH) maupun hybrid.
Selama pandemi pula, semakin banyak pekerja muda merasa tidak mendapatkan pengakuan dan kompensasi dari kantornya karena bekerja ekstra.
Akibatnya, muncul sikap untuk menolak bekerja terlalu keras sehingga kelelahan hanya demi pekerjaannya.
Perilaku quiet quitting kemudian berfokus pada menciptakan work life balance, kesejahteraan diri fisik maupun emosional dan hanya bekerja sesuai ongkos.
Baca juga: Gaya Hidup Work Life Balance, Ini yang Perlu Kamu Ketahui
Jaya Dass, direktur pelaksana Randstad, perusahaan HRD, untuk Singapura dan Malaysia menilai fenomena ini sebagai bentuk para pekerja yang kini merasa lebih berdaya untuk mengendalikan pekerjaan dan kehidupan pribadinya.
“Apa yang dulunya merupakan tantangan pasif agresif dari work life balance sekarang menjadi permintaan yang sangat langsung,” katanya.
“Itu bukan permintaan lagi. Ini adalah tuntutan," tandasnya.