KOMPAS.com - Meningkatnya kepedulian soal kesehatan mental ironisnya dibarengi dengan tren self diagnosis yang sebenarnya berbahaya.
Banyak orang melakukan diagnosa sendiri atas kondisi emosionalnya hanya bermodalkan informasi yang didapat di internet.
Seperti yang ramai beberapa hari belakangan ketika konten soal 'gangguan jiwa tahap awal' ramai' menjadi viral di media sosial.
Baca juga: Bahaya Self Diagnosis di Balik Popularitas Film Joker
Beberapa netizen kemudian menyamakannya dengan kondisi yang dialami dan mengklaim jika dirinya menderita gangguan jiwa.
Faktanya, diagnosis terhadap kondisi mental seseorang tidak bisa dilakukan secara asal.
Psikolog jebolan Universitas Gadjah Mada, Lucia Peppy mengatakan self diagnosis sangat berpotensi memicu bias.
"Seseorang yang melakukan self diagnosis adalah orang yang sedang berada dalam kondisi tersebut lalu berusaha untuk melakukan penilaian (atau menskor) dirinya sendiri," katanya, via pesan teks, kepada Kompas.com, kemarin.
Menurutnya, ini dilakukan dengan cara mencocokkan antara apa yang tertulis dengan apa yang menurut orang tersebut terjadi pada dirinya,
"Ini berarti sumber keputusan/ judgement adalah pemahamannya sendiri. Model demikian berpotensi besar pada proses yang subjektif daripada objektif."
Baca juga: Ternyata, Tidak Melakukan Apa-apa Baik untuk Kesehatan Mental
Pakar kesehatan mental keluarga ini mengatakan orang yang melakukan self diagnose juga cenderung tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan dengan kompetensi dan kelayakan yang tepat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.