Kesalahan yang terjadi ketika kita asal melakukan self diagnosis akan memicu penanganan yang tidak tepat pula.
Hal ini juga bisa memicu reaksi emosi dari diri sendiri seperti menjadi overthinking hingga sangat bermasalah karena berpikir dirinya dalam kondisi buruk, padahal sebenarnya baik-baik saja.
Baca juga: Overthinking Bukan Penyakit Mental, Simak Cara Mengatasinya
Berbagai konten kesehatan mental di internet maupun media sosial tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja.
Lucia berpesan agar setiap konten yang dibagikan itu disikapi sebagai kondisi yang pada umumnya ditemui.
"Ini belum lagi ketika kita membahas konteks ‘persepsi’ terhadap pengalaman. Ukuran kesedihan mendalam bagi seseorang dan yang lain akan berbeda," tambahnya.
Maka dari itu, diagnosis kesehatan mental harus dilakukan oleh profesional yang terlatih dengan pendidikan sesuai.
"Manusia itu kompleks, bukan sesuatu yang mekanis semata," tandas CEO Wiloka Workshop itu.
Baca juga: Manfaat Berkebun untuk Kesehatan Mental, Atasi Stres hingga Depresi
Alih-alih melihat gejala secara asal , ia menyarankan akan lebih relevan jika kita melakukan skrining kesehatan mental dari aspek perilaku keseharian.
Misalnya mengamati dari bagaimana kemampuan aktivitas kita sehari-hari seperti bekerja, bagaimana dapat berpikir sehari-hari, bagaimana mampu berinteraksi sehari-hari, atau bagaimana kita menjalankan fungsi sebagai individu baik secara priibadi maupun dalam konteks komunal.
"Bila ada hal yang diluar kebiasaan dan diikuti dengan adanya kondisi yang tidak nyaman, maka dapat menjadi tanda atau alarm untuk berkonsultasi dengan professional Kesehatan mental," pungkasnya.
Baca juga: Makanan dan Kesehatan Mental, Bagaimana Hubungannya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.