Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Asal, Hati-hati Self Diagnosis Hanya Bermodal Internet

Kompas.com - 01/09/2022, 07:11 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

KOMPAS.com - Meningkatnya kepedulian soal kesehatan mental ironisnya dibarengi dengan tren self diagnosis yang sebenarnya berbahaya.

Banyak orang melakukan diagnosa sendiri atas kondisi emosionalnya hanya bermodalkan informasi yang didapat di internet.

Seperti yang ramai beberapa hari belakangan ketika konten soal 'gangguan jiwa tahap awal' ramai' menjadi viral di media sosial.

Baca juga: Bahaya Self Diagnosis di Balik Popularitas Film Joker

Beberapa netizen kemudian menyamakannya dengan kondisi yang dialami dan mengklaim jika dirinya menderita gangguan jiwa.

Faktanya, diagnosis terhadap kondisi mental seseorang tidak bisa dilakukan secara asal.

Bahaya melakukan self diagnosis untuk kondisi mental

Psikolog jebolan Universitas Gadjah Mada, Lucia Peppy mengatakan self diagnosis sangat berpotensi memicu bias.

"Seseorang yang melakukan self diagnosis adalah orang yang sedang berada dalam kondisi tersebut lalu berusaha untuk melakukan penilaian (atau menskor) dirinya sendiri," katanya, via pesan teks, kepada Kompas.com, kemarin.

Menurutnya, ini dilakukan dengan cara mencocokkan antara apa yang tertulis dengan apa yang menurut orang tersebut terjadi pada dirinya,

"Ini berarti sumber keputusan/ judgement adalah pemahamannya sendiri. Model demikian berpotensi besar pada proses yang subjektif daripada objektif."

Baca juga: Ternyata, Tidak Melakukan Apa-apa Baik untuk Kesehatan Mental

Pakar kesehatan mental keluarga ini mengatakan orang yang melakukan self diagnose juga cenderung tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan dengan kompetensi dan kelayakan yang tepat.

"Ini sangat berpotensi pada kesalahan dalam diagnosis yang dilakukan," tambah Lucia.

Ia menegaskan jika hanya dokter spesialis kejiwaan, psikiater, dan psikolog klinis yang berhak melakukan diagnosis terhadap kesehatan mental seseorang.

Itu juga diatur dengan ketat dalam undang-undang tenaga kesehatan maupun peraturan Menteri Kesehatan.

Mengenali masalah kesehatan mental yang sedang dialami seseorang juga tidak bisa dilihat secara mekanis dari gejalanya saja.

Perlu observasi lebih menyeluruh misalnya dalam hal keberfungsian, juga oleh orang yang terlatih.

Kesalahan yang terjadi ketika kita asal melakukan self diagnosis akan memicu penanganan yang tidak tepat pula.

Hal ini juga bisa memicu reaksi emosi dari diri sendiri seperti menjadi overthinking hingga sangat bermasalah karena berpikir dirinya dalam kondisi buruk, padahal sebenarnya baik-baik saja.

Baca juga: Overthinking Bukan Penyakit Mental, Simak Cara Mengatasinya

Bijak merespon konten kesehatan mental di media sosial

Ilustrasi media sosialKOMPAS.COM/Shutterstock Ilustrasi media sosial
Berbagai konten kesehatan mental di internet maupun media sosial tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja.

Lucia berpesan agar setiap konten yang dibagikan itu disikapi sebagai kondisi yang pada umumnya ditemui.

"Ini belum lagi ketika kita membahas konteks ‘persepsi’ terhadap pengalaman. Ukuran kesedihan mendalam bagi seseorang dan yang lain akan berbeda," tambahnya. 

Maka dari itu, diagnosis kesehatan mental harus dilakukan oleh profesional yang terlatih dengan pendidikan sesuai.

"Manusia itu kompleks, bukan sesuatu yang mekanis semata," tandas CEO Wiloka Workshop itu.

Baca juga: Manfaat Berkebun untuk Kesehatan Mental, Atasi Stres hingga Depresi

Alih-alih melihat gejala secara asal , ia menyarankan akan lebih relevan jika kita melakukan skrining kesehatan mental dari aspek perilaku keseharian.

Misalnya mengamati dari bagaimana kemampuan aktivitas kita sehari-hari seperti bekerja, bagaimana dapat berpikir sehari-hari, bagaimana mampu berinteraksi sehari-hari, atau bagaimana kita menjalankan fungsi sebagai individu baik secara priibadi maupun dalam konteks komunal.

"Bila ada hal yang diluar kebiasaan dan diikuti dengan adanya kondisi yang tidak nyaman, maka dapat menjadi tanda atau alarm untuk berkonsultasi dengan professional Kesehatan mental," pungkasnya.

Baca juga: Makanan dan Kesehatan Mental, Bagaimana Hubungannya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com