KOMPAS.com - Fenomena quiet quitting dianggap sebagai upaya untuk menciptakan work life balance.
Sejumlah orang berusaha membuat batas yang tegas antara kehidupan pribadi dan profesional dengan perilaku kerja seperlunya ini.
Hal ini dilakukan dengan cara pulang tepat waktu, selalu istirahat makan siang, dan menolak lembur ataupun pekerjaan yang sebenarnya tidak berada dalam tanggung jawab profesi kita.
Quiet quitting menjadi bentuk perlawanan pada hustle culture, yakni budaya kerja keras tanpa lelah demi mengejar kesuksesan.
Baca juga: Quiet Quitting: Fenomena Kerja Seperlunya yang Melanda Anak Muda
Para pelaku quiet quitting berdalih hal ini dilakukan demi menjaga kesehatan mentalnya agar tidak stres karena pekerjaan.
Selain itu, mereka juga bisa meluangkan waktu dan perhatian untuk banyak hal lainnya termasuk keluarga dan hobinya.
Psikolog dan konsultan kesejahteraan, Lee Chambers, menilai quiet quitting sering kali merupakan mekanisme koping yang digunakan untuk mengatasi kemungkinan kelelahan dan kerja berlebihan yang kronis.
“Itu juga dapat terwujud ketika upaya yang cukup besar dalam suatu peran tidak dihargai dan diapresiasi, dan kurangnya pengakuan mengubah perilaku karyawan untuk melepaskan diri dari peran mereka,” tambahnya.
Ia setuju quiet quitting memberikan banyak manfaat untuk kita, khususnya untuk membiasakan diri menerapkan batasan pribadi.
Baca juga: Ini Tandanya jika Kita Sebenarnya Berperilaku Quiet Quitting di Kantor
Meski tidak fokus soal fenomena baru ini, menurutnya, sudah ada penelitian yang membuktikan jika memberi batasan soal pekerjaan akan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan melindungi dari kelelahan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.