Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Pengamat masalah sosial

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Tiga Resep Sehat dan Bahagia hingga Tua

Kompas.com - 05/09/2022, 14:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Melalui "Studi Harvard tentang Perkembangan Orang Dewasa," para peneliti memonitor kehidupan 724 pria, selama 75 tahun.

"Setiap tahun kami menanyakan tentang pekerjaan, rumah tangga, kesehatan mereka, dan tentu saja tanpa mengetahui akan seperti apa hidup mereka," kata Waldinger.

Memang ini studi yang sangat langka. Hampir semua proyek seperti ini bubar sebelum 10 tahun karena terlalu banyak orang keluar dari studi, atau pendanaan untuk riset habis, atau penelitinya mulai kehilangan arah, atau mereka meninggal, dan tidak ada yang melanjutkan studi.

Tapi berkat gabungan keberuntungan dan kegigihan beberapa generasi peneliti, studi ini bertahan.

Sekitar 60 dari 724 pria yang dimonitor masih hidup, masih berpartisipasi dalam studi ini, kebanyakan dari mereka berusia 90-an.

"Dan sekarang kami mulai mempelajari lebih dari 2.000 anak-anak dari para pria ini. Dan saya direktur ke-4 dari studi ini," tambah Waldinger.

Sejak tahun 1938, tim peneliti memonitor kehidupan dua kelompok pria. Kelompok pertama dalam studi ini mulai saat mereka jadi mahasiswa baru di Harvard College. Mereka lulus kuliah saat Perang Dunia II, dan sebagian besar pergi untuk ikut berperang.

"Dan kelompok kedua yang kami ikuti adalah sekelompok anak laki-laki dari kawasan paling miskin di Boston, mereka dipilih untuk studi ini karena mereka berasal dari keluarga bermasalah dan miskin di Boston pada tahun 1930-an. Sebagian besar hidup di rumah petak, tanpa akses air panas maupun dingin," ujar Waldinger.

"Saat mereka mulai mengikuti studi ini, semua remaja ini kami wawancarai. Kami melakukan tes kesehatan. Kami pergi ke rumah mereka dan mewawancarai orangtua mereka. Kemudian, para remaja ini tumbuh dewasa dan mempunyai profesi yang bervariasi. Ada yang menjadi buruh, pengacara, tukang bangunan, dan dokter, satu orang jadi Presiden Amerika Serikat. Ada yang menjadi pecandu minuman keras. Beberapa menderita schizoprenia. Beberapa menanjaki strata sosial dari paling bawah hingga paling atas, dan beberapa menempuh jalan sebaliknya," tambahnya.

Setiap dua tahun, peneliti menghubungi partisipan. Guna mendapatkan gambaran jelas dari kehidupan mereka, peneliti tidak sekadar mengirimi mereka daftar pertanyaan, tetapi mewawancarai mereka di ruang tamu, memeriksa rekam medis mereka, mengambil sample darah, memindai otak mereka, berbicara dengan anak-anak mereka.

Sekitar sepuluh tahun lalu, banyak istri responden ikut bergabung dalam studi ini, sehingga para peneliti juga merekam dialog dengan para istri itu.

Sebenarnya, pesan bahwa hubungan dekat yang baik penting untuk kesehatan dan kebahagiaan, merupakan nasehat yang sudah ada sejak sangat lama.

Tetapi, mengapa hal itu sulit untuk didapat dan mudah untuk diabaikan? Karena kita manusia.

Kita suka hal-hal yang serba instan, sesuatu yang bisa kita dapatkan yang membuat hidup jadi baik dan tetap mempertahankannya.

Hubungan terkadang berantakan dan rumit dan kerja keras untuk merawat hubungan dengan keluarga dan teman, bukanlah suatu hal yang seksi atau glamor. Sifatnya pun seumur hidup. Tidak pernah berakhir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com