Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Pengamat masalah sosial

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Tiga Resep Sehat dan Bahagia hingga Tua

Kompas.com - 05/09/2022, 14:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APA rahasia agar lebih sehat dan bahagia dalam hidup ini? Awalnya banyak yang mengira bahwa resepnya adalah kekayaan (uang) dan popularitas (fame).

Ternyata itu semua salah. Profesor dan ahli kedokteran jiwa di Fakultas Kedokteran Harvard Medical School Robert Waldinger menjelaskan, berdasar sebuah penelitian selama 75 tahun terhadap 724 orang di Amerika menunjukkan hasil yang menarik.

Waldinger yang mengunggah hal itu dalam salah satu videonya di kanal YouTube (pada tahun 2016) menerangkan bahwa tiga pelajaran penting dapat disimpulkan dari studi itu adalah:

Pertama: Mereka yang memiliki "hubungan sosial yang baik," dengan keluarga, teman dan komunitas-nya (lingkungan) rata-rata lebih sehat dan lebih bahagia. Dari situ diketahui pula bahwa 'kesepian mempercepat kematian.'

"Loneliness kills," katanya.

Kedua, jangan mengandalkan banyaknya hubungan saja. Yang penting bagi kita bukanlah kuantitas jumlah hubungan sosial yang kita miliki, melainkan 'kualitas' hubungan itu lah yang justru lebih penting.

Itu sebabnya konflik-konflik dalam perkawinan sangat buruk akibatnya bagi kita. Kadang bahkan lebih buruk dari perceraian. Sebaliknya, 'hidup di tengah suasana yang hangat' akan melindungi semua pihak.

Ketiga, kata Waldinger, hubungan yang baik dengan orang lain (keluarga, teman, komunitas) tidak saja menyehatkan tubuh, 'tetapi juga otak kita.'

Jika orang tahu ada orang lain yang bisa diandalkan dalam berbagai kesulitan yang dihadapi, maka otak orang itu akan memiliki daya ingat (memory) yang jauh lebih kuat (tidak mudah lupa atau pikun).

Itu sebabnya dianjurkan untuk terus meningkatkan mutu hubungan (komunikasi) dengan semua pihak, termasuk mengurangi 'screen time' (berlama-lama menggunakan telepon seluler/HP atau komputer), agar manusia bisa hidup lebih sehat dan lebih baik.

Selama ini kita diberi nasihat bahwa untuk meraih kebagiaan dan umur panjang, maka kita harus fokus dalam pekerjaan, bekerja lebih keras dan mencapai lebih dan lebih lagi. Seakan-akan itu semualah yang harus kita kejar untuk menjalani hidup yang baik.

Gambaran kehidupan kita, pilihan yang dibuat orang-orang dan bagaimana hasilnya untuk mereka, itu semua merupakan gambaran yang sangat sulit diraih.

Sebagian besar yang kita ketahui tentang kehidupan manusia, adalah dari hasil bertanya pada orang-orang itu tentang masa lalu mereka.

Namun itu sulit dan bukan cara yang akurat, sebab kita lupa sebagian besar kejadian dalam hidup kita, dan terkadang memori bisa sangat kreatif sehingga 'menyesatkan'.

Oleh karena itu, Waldinger dan tim berusaha melihat seluruh kehidupan orang-orang itu, seiring berjalannya waktu, sejak remaja sampai dengan hari tuanya untuk melihat apa yang membuat orang bahagia dan sehat.

Melalui "Studi Harvard tentang Perkembangan Orang Dewasa," para peneliti memonitor kehidupan 724 pria, selama 75 tahun.

"Setiap tahun kami menanyakan tentang pekerjaan, rumah tangga, kesehatan mereka, dan tentu saja tanpa mengetahui akan seperti apa hidup mereka," kata Waldinger.

Memang ini studi yang sangat langka. Hampir semua proyek seperti ini bubar sebelum 10 tahun karena terlalu banyak orang keluar dari studi, atau pendanaan untuk riset habis, atau penelitinya mulai kehilangan arah, atau mereka meninggal, dan tidak ada yang melanjutkan studi.

Tapi berkat gabungan keberuntungan dan kegigihan beberapa generasi peneliti, studi ini bertahan.

Sekitar 60 dari 724 pria yang dimonitor masih hidup, masih berpartisipasi dalam studi ini, kebanyakan dari mereka berusia 90-an.

"Dan sekarang kami mulai mempelajari lebih dari 2.000 anak-anak dari para pria ini. Dan saya direktur ke-4 dari studi ini," tambah Waldinger.

Sejak tahun 1938, tim peneliti memonitor kehidupan dua kelompok pria. Kelompok pertama dalam studi ini mulai saat mereka jadi mahasiswa baru di Harvard College. Mereka lulus kuliah saat Perang Dunia II, dan sebagian besar pergi untuk ikut berperang.

"Dan kelompok kedua yang kami ikuti adalah sekelompok anak laki-laki dari kawasan paling miskin di Boston, mereka dipilih untuk studi ini karena mereka berasal dari keluarga bermasalah dan miskin di Boston pada tahun 1930-an. Sebagian besar hidup di rumah petak, tanpa akses air panas maupun dingin," ujar Waldinger.

"Saat mereka mulai mengikuti studi ini, semua remaja ini kami wawancarai. Kami melakukan tes kesehatan. Kami pergi ke rumah mereka dan mewawancarai orangtua mereka. Kemudian, para remaja ini tumbuh dewasa dan mempunyai profesi yang bervariasi. Ada yang menjadi buruh, pengacara, tukang bangunan, dan dokter, satu orang jadi Presiden Amerika Serikat. Ada yang menjadi pecandu minuman keras. Beberapa menderita schizoprenia. Beberapa menanjaki strata sosial dari paling bawah hingga paling atas, dan beberapa menempuh jalan sebaliknya," tambahnya.

Setiap dua tahun, peneliti menghubungi partisipan. Guna mendapatkan gambaran jelas dari kehidupan mereka, peneliti tidak sekadar mengirimi mereka daftar pertanyaan, tetapi mewawancarai mereka di ruang tamu, memeriksa rekam medis mereka, mengambil sample darah, memindai otak mereka, berbicara dengan anak-anak mereka.

Sekitar sepuluh tahun lalu, banyak istri responden ikut bergabung dalam studi ini, sehingga para peneliti juga merekam dialog dengan para istri itu.

Sebenarnya, pesan bahwa hubungan dekat yang baik penting untuk kesehatan dan kebahagiaan, merupakan nasehat yang sudah ada sejak sangat lama.

Tetapi, mengapa hal itu sulit untuk didapat dan mudah untuk diabaikan? Karena kita manusia.

Kita suka hal-hal yang serba instan, sesuatu yang bisa kita dapatkan yang membuat hidup jadi baik dan tetap mempertahankannya.

Hubungan terkadang berantakan dan rumit dan kerja keras untuk merawat hubungan dengan keluarga dan teman, bukanlah suatu hal yang seksi atau glamor. Sifatnya pun seumur hidup. Tidak pernah berakhir.

Partisipan studi 75 tahun yang paling bahagia saat pensiun adalah yang berusaha mengubah rekan kerja menjadi teman.

Seperti kaum milenial dalam survei yang disebut Waldinger, banyak partisipan kami saat mulai beranjak dewasa (awalnya) sangat yakin bahwa ketenaran, kekayaan, dan pencapaian diri adalah yang mereka butuhkan agar hidup bahagia.

Tetapi itu semua keliru.

"Jadi, apa yang sudah kami pelajari? Pelajaran apa yang kami dapatkan dari puluhan ribu halaman informasi yang telah kami kumpulkan dari kehidupan mereka?"

"Pelajaran yang kami dapat bukanlah tentang kekayaan, ketenaran, atau bekerja lebih keras. Pesan terjelas yang kami dapat dari studi selama 75 tahun ini adalah: hubungan yang baik membuat kita semakin bahagia dan sehat. Titik."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com