Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tantan Hermansah
Dosen

Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta

Masa Depan Generasi Kegencet

Kompas.com - 08/09/2022, 10:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA akan atau sedang mengalami bonus demografi. Momentum ini digadang-gadang oleh banyak orang sebagai fenomena yang berpotensi memberikan keuntungan bagi bangsa negara terutama pada sektor kesejahteraan.

Namun pada realitasnya ada hal yang kurang dibahas, yakni hadirnya “Generasi Kegencet”. Generasi kegencet ini, di belahan sana kadang disebut atau mirip juga dengan “generasi sandwich”.

Disebut sebagai Generasi Kegencet karena mereka adalah kalangan yang sudah memiliki pekerjaan, bahkan bisa dikatakan cukup mapan pekerjaannya, tetapi dari sisi penghasilan dan pengeluaran mereka masuk ke dalam kategori kritis.

Alasannya karena penghasilan mereka harus dipergunakan untuk, selain memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya sendiri, namun juga harus memenuhi tanggungan keluarga besarnya (bisa orangtua atau adik-adiknya).

Akibatnya, dengan realitas yang membebani pundaknya itu, maka kalangan Generasi Kegencet ini memiliki struktur pengeluaran dan pendapatan yang sudah tetap alias fix income.

Dengan struktur keuangan seperti itu, maka upaya-upaya untuk mengubah mereka terlihat cukup berat karena jika pendekatannya financial planning atau perencanaan keuangan.

Alasannya sederhana, penghasilan mereka atau pendapatan mereka sudah demikian pas untuk memenuhi kebutuhan dasar hariannya dan juga memenuhi kewajiban yang harus mereka tanggung itu.

Lalu bagaimana masa depan kehidupan Generasi Kegencet ini? Dari fakta yang ada kita bisa melihat bahwa generasi ini demikian kritis.

Mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk meningkatkan kapasitasnya. Padahal dalam proses berkarir di Indonesia peningkatan kapasitas itu menjadi sangat penting dilakukan.

Namun di sisi lain, biasanya peningkatan kapasitas masih terjadi pada kalangan yang bekerja pada sektor-sektor tertentu, dengan struktur penghasilan yang jauh lebih baik dari kategori UMR dan di bawahnya.

Akan tetapi bagi beberapa institusi ekonomi-bisnis lain, peningkatan kapasitas bisa jadi merupakan beban sehingga tidak bisa dilakukan perusahaan atau institusi bisnis tersebut.

Inilah yang dihadapi oleh Generasi Kegencet ini. Jika mereka ingin maju, tentu mereka harus meningkatkan kapasitasnya.

Di mana banyak pihak mengatakan bahwa investasi untuk perut ke atas jauh lebih penting untuk meningkatkan penghasilan atau pendapatan atau karir ketimbang investasi untuk ke bawah.

Namun di sisi lain Generasi Kegencet memiliki kesulitan untuk melakukan investasi karena struktur pengeluaran pendapatan yang sudah fix tadi.

Sebab mereka tidak mungkin, atau sangat susah jika harus mengalokasikan sumber daya pendapatan yang sudah terbatas untuk alokasi lain.

Salah satu yang membuat Generasi Kegencet susah beranjak dari kondisi terkini adalah pemahaman atau pemaknaan atas nilai-nilai agama yang mengkonstruksi sebagian dari mereka.

Di mana mengabdi untuk keluarga merupakan sebagai bagian dari menjalankan ibadah.

Hal-hal yang sifatnya spiritual memang begitu mengikat mereka. Karena dengan adanya pemahaman ini kemudian menghasilkan satu keputusan melakukan tindakan pengorbanan. Walau kemudian pengorbanan itu “mengancam” masa depannya.

Akibatnya kalangan Generasi Kegencet ini tidak bisa mengoptimalkan pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Selain itu pemahaman tradisional di masyarakat bahwa anak adalah investasi berkontribusi pada langgengnya keadaan ini.

Karena dengan pemahaman bahwa anak-anak adalah investasi salah satu wujudnya ketika mereka sudah mulai memberikan penghasilan atau memiliki pendapatan, atau dalam bahasa lain “berproduksi”, maka keluarga besarnya seperti memiliki hak untuk menikmati hal tersebut.

Padahal tentu saja pemahaman ini tidak selalu linier dengan keadaan aslinya. Di mana tidak semua yang memiliki penghasilan bulanan itu pendapatannya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga besarnya.

Masalah menjadi semakin rumit. Hal ini dikarenakan campur aduk antara anak sebagai investasi lalu mengabdi kepada keluarga, tentu dengan mengorbankan apa yang dimiliki, atau tidak melanjutkan sistem ini.

Dengan tidak melanjutkan sistem atau budaya ini, maka akan menjadi bagian dari upaya mengurangi beban dari anaknya yang baru mendapatkan penghasilan. Sehingga dia bisa meningkatkan kesempatannya untuk mengembangkan diri.

Lalu bagaimana solusinya? Solusi yang terbaik tentu ada di tangan pemerintah. Di mana pemerintah harus memiliki skema insentif bagi generasi seperti ini.

Insentif yang tidak hanya sekadar bahan bakar bersubsidi. Tetapi insentif yang bersifat peningkatan kapasitas, misalnya, mengoptimalkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang bekerja sama dengan institusi ekonomi atau perusahaan tempat para Generasi Kegencet bekerja untuk meningkatkan kapasitas mereka.

Sehingga dengan meningkatnya kapasitas itu, mereka bisa memiliki peluang baru atau kesempatan lain yang bisa berkontribusi pada perbaikan hidup mereka terutama, dan mudah-mudahan berdampak kepada keluarganya.

Selain pemerintah, institusi pendidikan dan institusi keagamaan juga bisa berkontribusi dengan memberikan pemakanaan baru atas nilai-nilai yang selama ini menjadi keyakinan yang nyaris tunggal itu.

Misalnya, dengan memberikan tafsir ulang bahwa anak bukan investasi orangtua, tetapi investasi dirinya sendiri.

Sehingga apa pun yang diperolehnya dari perjalanan menempuh proses berkehidupan seperti sekolah dan sebagainya, hasilnya untuk anaknya sendiri. Bahwa ada kehendak untuk berbagi dari mereka itulah “bonus” yang tidak perlu ditagih apalagi dibebankan.

Jika hal ini dilakukan, maka Generasi Kegencet ini mudah-mudahan bisa berkurang. Mereka bisa bertransformasi menjadi generasi maju yang bebas kreatif dan memiliki visi dalam mengelola dan memaknai kehidupannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com