KOMPAS.com - Quiet quitting adalah tindakan bekerja seperlunya, yang kini menjadi fenomena di kalangan anak muda.
Perilaku ini dilakukan dengan menyelesaikan pekerjaan sesuai upah, tanpa dedikasi lebih atau upaya meningkatkan prestasi karier.
Banyak yang berdalih quiet quitting diterapkan untuk mewujudkan work life balance, khususnya ketika pekerjaan sangat memicu stress sehingga kita merasa burnout.
Namun ada juga yang mengkritisinya sebagai perilaku meninggalkan tanggung jawab pekerjaan, secara halus.
Baca juga: Belajar dari Fenomena Quiet Quitting
Quiet quitting dianggap sebagai solusi ketika burnout akibat beban pekerjaan yang menumpuk, stres berlebih atau jam kerja di luar batas.
Dengan cara ini, kita bisa tetap bekerja dan tidak kehilangan penghasilan namun secara perlahan menarik diri dari pemicu stres berlebihan itu.
Psikolog industri dan pakar perilaku, Dr. Natalie Baumgartner mengatakan quiet quitting mungkin bisa menghilangkan burnout untuk sesaat namun ini bukan solusi terbaik untuk jangka panjang.
Baca juga: Beda dengan Stres, Kenali Penyebab dan Tanda Burnout
Sebaliknya, ia menyarankan tiga solusi lainnya dibandingkan melakukan quiet quitting dalam pekerjaan.
"Jika Anda akan mengadopsi beberapa tingkat quiet quitting, maka jam-jam yang dihabiskan di pekerjaan Anda harus dimaksimalkan dan efisien," kata Michael Timmes, spesialis sumber daya manusia senior di Amerika Serikat.
Dengan cara ini, kita akan tetap menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan dalam karier sambil juga mengeksplorasi kreativitas dan hasrat yang dapat memberikan kebahagiaan.
Baca juga: Benarkah Quiet Quitting Baik untuk Kesehatan Mental? Ini Pendapat Ahli
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.