Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunardi Siswodiharjo
Food Engineer dan Praktisi Kebugaran

Food engineer; R&D manager–multinational food corporation (2009 – 2019); Pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan.

Melawan Sabotase Industri dan Melepas Belenggu Makanan Ultra Proses

Kompas.com - 16/09/2022, 09:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ciri mendasar UPF adalah tinggi kalori dan sangat nikmat rasanya, sehingga sering disebut juga sebagai hyper-palatable food (HPF) atau makanan yang sangat enak.

Riset Martínez Steele E, et al. (2016) menyebutkan UPF merupakan sumber utama kalori (hampir 58 persen) yang dimakan di Amerika Serikat dan menyumbang hampir 90 persen energi yang didapatkan dari gula tambahan.

Baca juga: Bahayanya Terlalu Sering Konsumsi Makanan Ultra-Proses

Mencermati semakin mudahnya kita mendapatkan UPF di minimarket atau supermarket terdekat, bisa ditebak bahwa di Indonesia pun angkanya tidak akan jauh berbeda.

Ada adagium yang sangat populer, The dose make the poison. Hal itu menunjukkan prinsip dasar toksikologi. Prinsipnya semua bahan kimia, termasuk makanan, bahkan air dan oksigen sekalipun, bisa menjadi racun jika terlalu banyak dimakan, diminum, atau diserap.

Inilah akar persoalan yang dikhawatirkan dari efek UPF, di mana konsumen menjadi susah berhenti mengudap makanan, sehingga jumlah asupannya berlebihan tanpa disadari.

Melepas belenggu dengan menciptakan kebiasaan baru

Makan sesungguhnya sesederhana kebiasaan. Urusan enak atau tidak enak, doyan atau tidak doyan, sebenarnya juga sekedar masalah kebiasaan.

Namun terkadang makan dan makanan juga bisa menjadi sesuatu yang kompleks karena food is not just nutrition. Makanan juga terkait erat dengan banyak hal, misalnya cinta, contohnya masakan Ibu, masakan nenek, ataupun masakan rumah.

Makanan juga terkait dengan budaya. Ada masakan Jawa, Padang, atau lainnya. Makanan terkait dengan kebangsaan, seperti masakan Chinese, Western, dan Indonesian. Makanan juga terkait dengan seni. Cara pengolahan dan penyajiannya punya ciri khas tertentu.

Makanan tak lepas juga dari tradisi, diwariskan secara turun temurun.

Oleh karena itu, menciptakan kebiasaan baru bukanlah perkara mudah. Apalagi kebiasaan lama telah terbentuk dalam puluhan tahun. Mengubah pola makan dan jenis makanan bak mengubah gaya hidup.

Perlu dimulai dengan kesadaran lalu komitmen, kerja sangat keras disertai support system seperti dari keluarga dan lingkungan yang memadai.

Bagian tersulit dari penerapan pola baru adalah konsistensi, keberlanjutan dan kepatuhan. Kebiasaan baru bisa dimulai dengan membuka kesadaran untuk mengembalikan UPF ke WF sedikit demi sedikit.

Harus diingat, perubahan yang drastis dan dramatis umumnya tidak bertahan lama. Kesadaran bisa dibangun dengan memperbaiki literasi gizi dari sumber-sumber yang kredible seperti buku atau media arus utama.

Agar tidak terkontaminasi dengan hoaks, hindari literasi gizi dari media sosial yang sering tidak jelas sumbernya.

Berikut beberapa strategi dalam menciptakan kebiasaan makan baru yang bisa diterapkan secara kombinasi atau bertahap. Pertama, “piring makan model-T”, dimana 50 persen bagian diisi buah dan sayur, 25 persen karbohidrat, serta 25 persen protein dan lemak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com