Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/09/2022, 15:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia arti ruminasi adalah pengembalian dari lambung ke mulut pada hewan pemamah biak untuk dikunyah dan ditelan kembali.

Jadi, hewan pemamah biak seperti sapi, kambing, rusa, kerbau, domba, memang memiliki kebiasaan tersebut ketika sedang beristirahat. Mengunyah-ngunyah keluar masuk makanan dari mulut ke lambung dan sebaliknya.

Garvin Goei (2021: 60) mengatakan bahwa dalam dunia psikologi dikenal juga istilah ruminasi.

Menurut Goei, ruminasi dalam psikologi adalah ketika seseorang terus memutar ulang gambaran sebuah kejadian buruk atau tidak menyenangkan di dalam pikirannya yang menimbulkan emosi negatif.

Sebagai contoh konkret, ada satu peristiwa yang saya alami beberapa tahun lampau. Pada suatu siang, saya bermain ke rumah seorang teman kantor, seorang seniman.

Ketika bermain ke rumahnya, saya dikenalkan dengan anaknya yang berusia sekitar tiga tahun. Saya tanya namanya dan lainnya.

Kemudian entah kenapa sambil bercanda saya bilang pada anak kecil itu,”Kamu nakal, ya…”

Esok harinya teman saya tersebut menemui saya di kantor dengan wajah serius. Lalu katanya,”Kemarin Mas bilang anak saya nakal, ya? Maaf Mas, anak saya tidak nakal. Ia anak yang baik, nurut sama ayah ibunya. Tidak nakal seperti yang Mas kira…”

Bla-bla-bla. Bla-bla-bla. Panjang lebar penjelasannya, persis seperti orang yang lagi curhat.

Saya tercenung mendengar penjelasannya itu, sebab saya sendiri sudah lupa candaan yang saya lontarkan tersebut.

Tetapi rupanya, ayahnya tidak dapat menerima candaan saya yang dianggapnya hal serius mengenai anaknya ini.

Apabila saya kaitkan dan kembangkan dengan ruminasi yang dikatakan oleh Garvin Goei, bisa jadi ceritanya begini.

Malam hari teman saya tidak bisa tidur, gelisah. Di telinganya terus terngiang-ngiang perkataan saya pada anaknya: anak nakal.

Alam pikiran teman itu lalu beruminasi: Anak nakal, wah anak saya anak baik! Anak nakal, saya tidak bisa mendidik anak? Anak nakal, emang anak saya suka mengganggu orang lain? Anak nakal, emang anak saya suka mencuri? Bla-bla-bla. Bla-bla-bla.

Itulah ruminasi. Dalam alam pikiran teman mengulang-ulang perkataan saya, padahal saya sendiri hanya mengatakan sekali saja. Tentu hal ini mengganggu pikiran dan emosinya.

Membiarkan ruminasi pada pikiran seseorang tidaklah baik, lebih banyak ruginya daripada untungnya. Hal itu akan memicu keluarnya emosi negatif yang merugikan diri sendiri.

Emosi negatif yang tercipta melalui interpretasi yang dipandang dari segi negatifnya saja yang menjengkelkan, mencemaskan, merugikan, dan bikin amarah.

Selain itu, membiarkan ruminasi liar menguasai pikiran kita akan berujung pada perselisihan atau pertengkaran yang tidak dapat dihindarkan.

Seseorang yang mampu menguasai ruminasi berarti mampu menguasai dirinya, mampu menguasai pikirannya, dan mampu menguasai emosinya.

Emosi bawaan

Manusia memang sudah digariskan memiliki emosi dasar, yaitu senang, sedih, takut, marah, jijik, dan terkejut. Emosi-emosi ini yang secara laten memengaruhi sikap manusia sehari-hari.

Emosi pun ada yang menyenangkan dan ada yang tidak menyenangkan, yaitu emosi positif dan emosi negatif.

Emosi ini silih berganti dalam kehidupan karena kita sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia.

Ruminasi dalam psikologi termasuk wilayah emosi negatif karena berpotensi merusak baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Di dalam emosi negatif jelas terukur rasa cemas, takut, curiga, marah, jijik, yang semuanya menjurus ke arah yang menghancurkan kebahagiaan dan mengganggu ketenteraman atau ketenangan.

Ada 10 jenis emosi negatif (Garvin Goei, 2022:52), yaitu amarah, merasa terganggu, timbulnya rasa sedih, rasa bersalah, takut, cemas, keputusasaan, apatis/tidak acuh, kecewa, jijik.

Seseorang yang mengalami satu atau beberapa emosi ini, maka dikategorikan terbawa emosi negatif. Emosi ini semakin kuat apabila diberi ekspresi fisik, misalnya mengepalkan tinju, mata melotot, mulut memaki-maki, menangis, gelisah, dan lainnya.

Membiarkan emosi negatif yang berlebihan dalam diri kita umumnya tidak bermanfaat. Harus ada batas-batas tertentu yang dapat dikendalikan.

Apakah keluarnya emosi negatif ini tepat atau tidak pada tempatnya? Rasionalkah? Benarkah yang dipikirkan adalah demikian?

Jangan-jangan salah persepsi atau salah duga. Jadi, emosi negatif akibat ruminasi tidak harus diikuti begitu saja, berpikir dua kali sebelum bertindak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com