Pola asuh yang demikian agaknya tergambar dalam buku yang ditulis Chua karena ia membagikan masa kecilnya yang dibesarkan oleh pola pengasuhan yang ketat.
Chua sengaja menulis "Battle Hymn of the Tiger Mother" sebagai memoar tentang pengalamannya mengasuh anak dalam dua budaya.
Ia tidak bermaksud mengunggulkan pola pengasuhan orangtua di Asia lebih baik ketimbang orangtua di negara-negara Barat.
Secara mudah, tiger parenting diasosiasikan sebagai pola pengasuhan yang ketat.
Tapi, ketika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, orangtua dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
Baca juga: Pentingnya Mindful Parenting dan Cara Menerapkannya
Orangtua yang menerapkan tiger parenting mengorbankan masa kecil anak demi kesuksesan si buah hati di masa depan.
Mereka tidak mengizinkan anaknya mengikuti acara yang menyenangkan, seperti ulang tahun temannya, jalan-jalan, atau menginap, termasuk pacaran.
Tetapi, keuntungan dari orangtua yang demikian adalah membatasi akses anaknya terhadap alkohol maupun narkoba.
Tiger parenting memiliki harapan agar anaknya berprestasi dan menjadi terbaik dalam segala hal.
Ketika si buah hati gagal, orangtua tidak segan menegur anaknya karena membuat malu keluarga.
Karena alasan itulah anak menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, berlatih, dan les supaya berprestasi, termasuk diterima di perguruan tinggi terbaik.
Orangtua yang mengaplikasikan tiger parenting secara langsung membuat anaknya takut dan ingin mereka dihormati.
Baca juga: Simak Gaya Co-Parenting Irina Shayk dan Bradley Cooper
Pola pengasuhan yang demikian membuat anak tidak berani memberikan feed back apalagi menyela pembicaraan orangtua karena takut dimarahi atau menerima hukuman secara fisik.
Tiger parenting menekankan kuasa yang besar dari orangtua dan pengaruhnya terhadap anak.
Si buah hati tidak memiliki kesempatan untuk mengambil keputusannya sendiri karena semuanya harus mendapat persetujuan orangtua.