Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/09/2022, 13:00 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

KOMPAS.com - Masyarakat di Indonesia turut berduka ketika Ratu Elizabeth wafat.

Media sosial penuh dengan ucapan duka cita dan kehilangan meskipun tidak pernah benar-benar mengenal pemimpin Kerajaan Inggris itu.

Gelombang empati ini juga menuai keheranan sekaligus kritik dari sejumlah pihak.

Mengapa kita ikut berduka cita untuk kematian orang yang hanya kita ketahui dari media sosial maupun pemberitaan saja?

Baca juga: Kala Momen Pemakaman Ratu Elizabeth Malah Jadi Panggung Drama Keluarga

Alasan orang berduka untuk para pesohor seperti Ratu Elizabeth

Fenomena tersebut sebenarnya bukan hal yang baru di kehidupan sosial kita.

Sebelum Ratu Elizabeth, banyak sosok terkenal lainnya yang sukses menuai rasa sedih publik karena kematiannya.

Misalnya saat Eril, putra Ridwan Kamil, meninggal di Swiss yang sempat membuat masyarakat Indonesia ikut berduka.

Bukan hanya ucapan di media sosial, banyak juga yang rela menghabiskan waktu mengunjungi makam atau mengeluarkan uang untuk mengirimkan bunga.

Baca juga: Nabila Ishma, Kekasih Mendiang Eril yang Cantik dan Inspiratif

Tren perilaku ini rupanya berkaitan dengan stabilitas yang terganggu di dunia di mana orang mendambakan kepastian.

Nuala Walsh, pakar perilaku dari Psychology Today mengatakan ada sejumlah alasan psikologis yang membuat orang menangisi kepergian sosok terkenal yang sebenarnya tidak dikenalnya, yakni:

Keakraban

Di era media sosial saat ini, kehidupan orang-orang terkenal terbuka sehingga terasa begitu akrab dengan kita. 

Ketika kita memiliki paparan sebelumnya kepada orang asing, ingatan bawah sadar terpicu karena efek pengulangan dan bias ketersediaan.

Akibatnya, kita merasa mereka menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari meskipun tidak pernah berkaitan langsung.

Mistik

Orang-orang berkumpul, pada hari pemakaman kenegaraan Ratu Elizabeth II di Parliament Square di London, Inggris, 19 September 2022.REUTERS/SARAH MEYSSONNIER via VOA INDONESIA Orang-orang berkumpul, pada hari pemakaman kenegaraan Ratu Elizabeth II di Parliament Square di London, Inggris, 19 September 2022.
Dalam kasus Ratu Elizabeth, posisinya sebagai pemimpin monarki membangkitkan rasa mistik dan meningkatkan rasa ingin tahu, yang dimiliki banyak orang.

Simbolisme istana yang penuh hiasan, taman yang megah, dan mahkota berlian yang dipakainya sangat kontras dengan kehidupan biasa.

Sekilas ini menawarkan unsur-unsur pelarian dan glamor untuk kehidupan rutin.

Pemberitaan yang membanjiri media soal dirinya kemudian memberikan rasa kesedihan yang lebih mendalam.

Baca juga: David Beckham Rela Antre 12 Jam untuk Berikan Penghormatan pada Ratu Elizabeth

Kehilangan

Sosok terkenal seringkali membuat publik bersedih karena memicu kenangan yang intens soal kehilangan sebelumnya.

Ratu Elizabeth II kemungkinan besar mengingatkan banyak orang pada ibu atau nenek mereka yang baik hati.

Stephen Coleman, Profesor Komunikasi Politik di Universitas Leeds, mengatakan pencarian "konstanta yang dapat diandalkan" ini dapat dimengerti.

Meninggalnya seorang raja mewakili hilangnya dongeng yang menandai rasa finalitas dan gangguan yang mengecewakan.

Fenomena ini seperti ketika serial Netflix favorit kita berakhir sehingga koneksi dengan karakter tiba-tiba terputus sehingga kita mendadak kehilangan.

Identitas

Jutaan orang yang ikut berduka, hingga menghadiri pemakaman sosok terkenal, mungkin ingin mencari identitas yang lebih kuat.

"Dalam masyarakat kita yang sering terisolasi, bergabung dengan orang lain untuk berduka atas orang asing membantu orang merasa terhubung, bagian dari keseluruhan yang lebih besar dan tujuan bersama," kata Benjamin Radford, penulis sosial.

Baca juga: Kesedihan Berlarut akibat Kematian Orang Terdekat, Apakah Normal?

Keyakinan

Terlepas dari posisi sosial, orang bersekutu dengan pihak lain yang memiliki nilai yang sama.

Ratu Elizabeth mewakili nilai-nilai monarki, martabat, tugas dan komitmen yang dianggap hilang dengan kematiannya.

Demikian pula ketika pesohor lain berpulang dengan ciri khas dan nilainya masing-masing.

Sejarah

Orang cenderung ingin menjadi bagian dari peristiwa bersejarah yang signifikan, terlepas dari apakah itu pemakaman kenegaraan, transaksi perusahaan, atau kejuaraan olahraga.

Bagi sebagian orang, kehadiran dan partisipasi memberikan hak membual soal momen penting itu.

"Berada di kerumunan bukan hanya tentang menyaksikan sejarah; ini tentang menjadi sejarah," kata Profesor Stephen Reicher soalnya banyaknya pelayat yang berkumpul.

Baca juga: Cara Bijak Berkomentar di Media Sosial Ketika Ada Kabar Duka

FOMO

Ilustrasi FOMOfreepik Ilustrasi FOMO
Alasan lainnya adalah Fear Of Missing Out (FOMO) alias takut ketinggalan kejadian sosial yang dianggap besar ini.

Liputan media yang santer juga seringkali membuat kita bertanya-tanya apakah harus merasa sedih atas kematian tersebut.

Beberapa kemudian menjadikannya sebagai petunjuk sosial untuk bersikap yang akhirnya menular.

Ketinggalan dan ditinggalkan secara emosional membuat ketidakstabilan pada diri manusia.

Kolektivisme

Momen kematian orang terkenal seringkali mengikat orang secara kolektif yang memberikan rasa persatuan dan pemahaman bersama.

Oleh sebab itu, sejumlah pihak biasa menjadikannya sebagai kesempatan untuk menyatukan budaya dan memperkuat stabilitas.

Baca juga: Etika Gunakan Media Sosial Ketika Ada Kabar Duka atau Bencana

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com