Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Setiyo Wibowo
Author

Konsultan, self-discovery coach, & trainer yang telah menulis 28 buku best seller. Cofounder & Chief Editor Kampusgw.com yang kerap kali menjadi pembicara pada beragam topik di kota-kota populer di Asia-Pasifik seperti Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Dubai, dan New Delhi. Founder & Host The Grandsaint Show yang pernah masuk dalam Top 101 podcast kategori Self-Improvement di Apple Podcasts Indonesia versi Podstatus.com pada tahun 2021.

"Slow Living"

Kompas.com - 28/09/2022, 08:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kita akan "terhanyut" untuk menikmati proses, tidak sekadar mengejar hasil akhir dalam menunaikan segala sesuatu.

Ketiga, membangun hubungan yang lebih kuat. Mengurangi stres, mendapatkan lebih banyak "me time", dan hidup dengan penuh kesadaran dapat membantu meningkatkan waktu berkualitas kita bersama orang-orang yang paling kita sayangi. 

Keempat, menyelaraskan diri dengan alam. Slow living berarti peduli dengan alam. Kita akan menjadi lebih sadar akan dampak negatif dari gaya hidup yang mencemari Bumi. Oleh karena itu, saya begitu bangga dengan masyarakat Bali dengan Tri Hita Karana-nya yang menyelaraskan hidup dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia.

Dengan menyeimbangkan ketiga unsur tersebut, kita dapat berpacu untuk melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. 

Kelima, menjalani panggilan hidup. Slow living berarti menempatkan nilai-nilai diri kita di jantung gaya hidup kita, menemukan integrasi kehidupan kerja yang lebih baik dan meluangkan waktu untuk apa yang paling penting bagi diri sendiri, yang dapat mengarah pada kehidupan yang lebih terarah. Bukankah hidup yang tak bertujuan tak pantas diperjuangkan? 

Kesalahpahaman masyarakat 

Meskipun dinilai begitu berfaedah oleh para pakar, pemahaman masyarakat terhadap slow living, khususnya di Indonesia, masih perlu ditingkatkan lagi. Pasalnya sebagian orang menyamakannya dengan lamban, malas atau tidak produktif. 

Carl Honoré sering menyebutkan perbedaan antara '"lambat yang baik" dan 'lambat yang buruk'. Perbedaannya adalah bahwa "lambat yang baik" tentang mengurangi kecepatan secara sadar untuk melakukan sesuatu dengan kecepatan yang tepat demi mencapai hasil yang lebih baik.

Sementara "lambat yang buruk" mungkin sesuatu di luar kendali kita, seperti antrean panjang atau kemacetan lalu lintas.

Di sisi lain, ada juga "cepat yang baik" dan "cepat yang buruk". Kecepatan bisa menjadi hal yang mengasyikkan dan menggembirakan dalam situasi yang tepat, tetapi terburu-buru dalam menjalani hidup, sekadar melihat-lihat permukaan, adalah kebalikannya.

Slow living bukan hanya untuk mereka yang tinggal di pedesaan. Namun sejatinya bisa diterapkan oleh masyarakat di perkotaan. Karena memang tidak bertentangan dengan menjadi sukses atau produktif.

Sebaliknya, ini tentang menghayati gagasan kesuksesan kita sendiri dan memprioritaskan apa yang paling penting bagi hidup kita.

Slow living tidak berarti bebas atau anti-teknologi. Ini berarti memastikan teknologi melayani kita, tidak mengganggu kita, dan mengakui perlunya waktu untuk "hibernasi" sejenak dari layar gadget.

Tips slow living

Ada begitu banyak tips untuk menerapkan dan membudayakan slow living. Berikut ini adalah versi saya.

Pertama, meminimalkan apapun. Salah satu manfaat utama dari meminimalkan barang-barang kita adalah dapat membantu kita "memperlambat" hidup kita. Misalnya, dengan mengurangi jumlah gangguan visual yang "bersaing" untuk mendapatkan perhatian kita.

Dengan lebih sedikit hal yang bersaing untuk fokus kita, menjadi lebih mudah untuk menghargai setiap momen, terlibat sepenuhnya dalam apapun yang kita lakukan saat itu.

Selain itu, dengan mengurangi kepemilikan barang-barang, kita juga dapat menyederhanakan aspek lain dari rutinitas. Misalnya, tidak menghabiskan waktu mengelola lemari penuh pakaian memberi kita lebih banyak kesempatan untuk aktivitas penghilang stres seperti berjalan-jalan atau mendengarkan musik.

Pada akhirnya, dengan menyingkirkan hal-hal yang membebani kita, kita menciptakan lebih banyak waktu dan ruang bagi diri  sendiri untuk mengalami saat-saat bermakna dalam hidup dengan kecepatan yang lebih lambat dan lebih disengaja.

Kedua, sering mengunjungi ruang terbuka. Sangat penting untuk memiliki beberapa lokasi luar ruangan di mana kita dapat memperlambat dan mengambil napas untuk diri sendiri dan keluarga kita guna mengelola stres hidup di tengah era digital yang "bising".

Tidak ada salahnya kita coba mengunjungi lebih banyak ruang terbuka seperti taman, perpustakaan, museum, kebun, atau sawah untuk mempraktikkan ini. 

Ketiga, memulai rutinitas harian secara perlahan. Jika kita sering merasa terburu-buru sejak mengawali hari, tak ada salahnya mencoba kebalikannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com