Pintu keempat. Menuju stunting tentunya masalah makanan pendamping asi (MPASI) yang begitu ricuh isunya di kalangan ibu2 muda yang ‘bersekolah’ di universitas Google, fakultas YouTube, dan program studi TikTok’ – ketimbang merujuk pada panduan nasional: Buku KIA (kesehatan ibu anak) yang bisa diunduh gratis, bahkan didapat cuma-cuma saat periksa kehamilan di puskesmas.
Apakah begitu sulitnya membaca buku sederhana, yang isinya amat mudah dipahami? Saat penimbangan bayi, buku merah muda itu akhirnya hanya buat kipas-kipas – bahkan grafik lengkap pertumbuhan anak tidak (mau) dipahami.
Pintu kelima. Menuju stunting terbuka lebar saat anak mulai sakit-sakitan. Diawali dengan MPASI yang tidak adekuat, ibu tidak paham saat menghadapi anak mogok makan (yang diulak alik hanya MPASInya, bukan fokus pada diri anaknya), pun kader dan nakes banyak yang tidak siap mengajar cara pemberian makan bayi dan anak yang benar di saat anak sakit atau sedang tumbuh gigi.
Berat badan mulai terjun bebas, batuk pilek, mencret dengan ancaman anemia dan risiko tertular TBC atau pneumonia menjadi momok yang amat mengerikan.
Baca juga: Konsumsi Minuman Manis saat Hamil Berpotensi Obesitas pada Bayi
Kisah horor semakin bertambah, saat bantuan ‘penanggulangan stunting’ diwarnai riuh rendahnya berbagai pihak yang ingin berkontribusi sebagai kolaborator pemerintah, tapi yang disumbangkan sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Para ibu dengan anak stunting dengan bahagia menyambut donasi berkardus-kardus susu bubuk. Padahal, bayinya menolak rasa sufor mahal itu.
Padahal, lebih dari 80% bayi Asia mempunyai masalah intoleransi laktosa. Semakin mencret, semakin buyar.
Baik pihak kolaborator maupun pemerintah, mestinya memahami bahwa masalah anak yang sudah terlanjur stunting tidak hanya soal makanan atau orangtuanya miskin.
Banyak masalah mendasar yang mesti dibenahi. Mulai dari cara pemberian makan anak hingga pola asuh.
Yang mestinya lebih banyak terlibat justru para edukator, yang mampu memberikan komunikasi perubahan perilaku.
Baca juga: Apa Penyebab Stunting?
Keluarga yang biasanya tidak masak, kebanyakan jajan, menjadi mampu mengolah makanan yang lebih sehat termasuk bagi anaknya. Bahkan, ekonomi keluarga lebih terawat.
Anak yang sudah terlanjur stunting tidak boleh dijadikan ‘bocah gembul’. Mimpi buruk masalah stunting semakin jadi kenyataan jika anak berubah jadi obes, berisiko menderita penyakit kronik di kemudian hari – sementara kecerdasannya terganggu.
Dari sini semakin jelas, kebutuhan para pendidik yang mampu membuat keluarga memahami pentingnya nilai stimulasi edukasi anak stunting, yang hanya bisa mengandalkan 20% otaknya yang belum terbentuk sempurna di atas 2 tahun.
Dari tulisan di atas, nampak dibutuhkan pemahaman komprehensif tentang duduk perkara pencegahan stunting dan penatalaksanaan kasus yang sudah terlanjur stunting.
Tidak ada jurus jitu satu pintu, hanya sekadar berdonasi tanpa memahami kesulitan mendasar dari keluarga dan anak yang stunting itu sendiri.